Minggu, 25 Maret 2012

Hukum bagi orang yang lupa mencuci muka dan dia mengulanginya setelah mengusap kedua tangan kemudia dia menyempurnakan wudhu’


oleh: azzam al indragiri
Soal: ketika berwudhu untuk shalat saya lupa mencuci muka dan dan saya mencuci tangan kemudian saya ingat itu maka saya mencuci muka kemudian tangan dan saya menyempurnakan wudhu, apakah bagi saya ada sesuatu ( yang mesti saya lakukan ) untuk itu? Dan bagaiman jika seseorang lupa mencuci muka dia tidak mengingatnya kecuali setelah selesai wudhu???
Jawab: tidak ada apa – apa ( yang mesti kau kerjakan ) karena kamu kembali mencuci muka ke mudian tangan kemudian kamu menyempurnakan wudhu, adapun bagi orang yang meninggalkan muka ( lupa mengusap muka ) dan dia tidak mengingatnya kecuali setelah selesai berwudhu, maka dia harus mengulangi wudhunya. Supaya terlaksana kewajiban tertib dalam berwudhu. ( majmu' fatawa bin baz hal 102 )


Hukum memakan sembelihan orang kafir dan penggunaan bejana makan mereka
Soal:  soal dari pelajar Somalia yang belajar dicina, dia berkata: aku pelajar Somalia yang belajar dicina dan aku mendapatkan kesusahan, umumnya dalam hal makanan dan permasalahan daging khususnya serta permasalahn – permasalah lainnya, :
1.      Aku mendengar sebelum kedatanganku kecina bahwa hewan yang disembelih oleh orang kafir atau semacamnya, maka sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh orang muslim, dan kami memiliki tempat makan yang kecil dikampus, dan didapatka daging, dan aku tidak yakin jika daging ini disembelih dengan cara ata metode islam. Dengan ilmu teman – temanku tidak meragukannya seperti keraguanku dan makan darinya. Apakah mereka benar atau mereka makan yang haram?
2.      Dari segi bejana makanan disana tidak ada perbedaan antara bejana muslim dan yang selainnya, apa yang mesti saya lakukan dalam urusan ini??
Jawab: tidak boleh memakan sembelihan orang – orang kafir kecuali orang – orang ahlul kitab dari yahudi dan nashrani, sama saja baik itu majusi, cina dan yunani atau selain mereka dari macam – macam orang kafir. Dan janganlah tercampur sembelihan mereka kedalam kuah atau yang lain karena allah swt tidak membolehkan atau memnghalalkan makanan makanan orang kecuali orang ahlu kitab sebagaimana firman allah dalam surat al maidah ayat ke 5. Dan makanan yang ada dalam ayat adalah sembelihan sebagaimana perkataan ibnu abbas.
Adapun buah – buahan tidak termasuk didalamnya, karena buah – buahan tidak termasuk kedalam makanan yang diharamkan, dan makanan orang muslim halal untuk orang muslim dan selainnya apabila muslim yang benar – benar muslim, mereka tidak menyembah kecuali menyembah allah,  tidak menjadikan para nabi dalam berdoa kepada allah, tidak pula dengan aulia’ dan tidak pula para penyembah kuburan dan selainnya seperti penyembahannya orang kafir.
Dapaun bejana, maka wajib bagi orang muslim untuk memakai bejana selain bejana orang kafir yang mereka menggunakannya untuk makana mereka dan khamr mereka dan semacamnya, apabila belum ditemui yang lain, maka wajib bagi tukang masak muslim untuk mencuci bejana yang dibgunakan orang kafir kemudian diletakkan makanan orang muslim didalamnya. Sebagaimana yang terdapat dalam shohih bukhory dan muslim dari abu tsa’labah ra ketika dia bertanya kepada nabi saw tentang makan dibejana orang musyrik, maka rasulullah saw bersabda “ janganlah makan didalamnya kecuali tidak ditemukan bejana yang lain maka cuci dan makanlah darinya. ( hal 25 )


 Hukum makan di bejana ( tempat makan ) yang meragukan
oleh: azzam al  indragiri
Soal: di amerika mereka kadang – kadang makan daging babi dan kadang – kadang minum khamr dibejana mereka, sedang kan rasulullah saw melarang makan dan minum dibejana mereka kecuali dalam keadaan darurat. Soal saya: apakah masuk hukum ini kedalam hukum meminum dibejana muslim yang mereka memakan daging babi dan minum khamr didalamnya?? Dan apaka boleh wudhu darinya??
Jawab: bismillah dan Alhamdulillah. Apabila takut dalam bejana ini terdapat khamr atau bekas daging babi, maka hendaklah dia memcucinya jika dia membutuhkannya, kemudian dia makan darinya, tetapi jika tidak membutuhkannya Alhamdulillah. Setiap bejana yang ditakutkan terdapat najis baik itu punya orang kafir atau tidak, maka cuci dan makanlah darinya. Seperti sabda rasulullah saw “ jika tidak ditemukan selainnya ( selain bejana orang kafir )  maka cucilah dan makanlah darinya. ( fatawa bin baz hal 23 )

Sabtu, 10 Maret 2012


 

اليقين لا يزول بالشك

SUATU KEYAKINAN ITU TIDAK BISA DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN

Oleh : Azzam al Indragiri / Ransi Mardi
Qo’idah ini merupakan asas atau pondasi dari mazhab imam abu hanifah dan imam al karkhi.
Dalil dari qo’idah ini adalah:
1.       Dalil dari Al Qur’an al karim
Firman Allah SWT,
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. ( Qs: Yunus 36 )
2.       Dalil dari As sunnah
Rasulullah SAW bersabda dari hadits abu hurairoh ra:
Apbila salah seorang dari kalian mendapatkan ada yang tidak beres dari perutnya, lalu rancu baginya perkara itu, keuar atau tidak? Maka janganlah dia keluar dari masjid hingga ia mendapatkan ( mencium ) bau atau ( mendengar ) suaranya. ( HR, Muslim : kitab alwudhu’ ).
Hadits dari ‘abdullah bin zaid ra:
Ada seorang laki – laki megadukan kepada Rasulullah SAW bahwa dia mendapatkan sesuatu didalam shalatnya, Rasulullah SAW bersabda “ dia tidak perlu membatalkan shalatnya hingga ia mendengar suara dan mencim baunya”. ( HR: Muslim ).
Dan lain – lainnya.
3.       Dalil ‘aqliyun
Sesunnguhnya suatu keyakinan itu lebih kuat dari keragu – raguan karena dalam keyakinan itu terdapat hukum qoth’i yang lazim maka tidak bisa diruntuhkan suatu keyakinan itu dengan keragu – raguan[1].

Makna Qo’idah
Ø  Secara bahasa
Yakin adalah ketenangan atau ketentraman hati terhadap kebenaran sesuatu.
Ragu adalah keragu – raguan yang mutlaq, dan menurut fuqoha’ ragu disini adalah ragu dalam mengerjakan sesuatu antara mengerjakan atau meninggalkannya.
Sedangkan ragu menurut istilah usuliyin adalah berhenti atau berada ditengah – tengah dari dua ujung sesuatu.

Urutan antara yakin dan ragu:
1.       Yakin   : keyakinan hati yang disandarkan pada dalil qoth’iy
2.       I’tiqod : keyakinan hati yang tidak disndarkan pada dalil qoth’iy
3.       Zhon   : perbandingan dua perkara yang mana salah satunya lebih kuat dari yang lain
4.       Syak(ragu) : perbandingan dua perkara yang tidak ada perbedaan sama sekali antara keduanya.
5.       Al wahm   : perbandingan dua perkara yang mana salah satunya lebh lemah dari yang lain.
Contoh qo’idah
1.       Apabila seseorang berhutang dan kita ragu apakah dia telah membayarnya atau belum, maka hutang ini menjadi batal ( rusak ).
2.       Apabila terjadi pernikahan antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan dengan ‘aqad yang shohih, kemudian didapatkan keraguan dalam urusan tholaknya maka pernikahan ini rusak ( akadnya ).
Qo’idah – Qo’idah yang mengiringi Qo’idah ini:
1)     الأصل بقاء ما كان على ما كان
Sesuatu itu sesuai atau ditetapkan dengan asalnya
Makana :
Sesungguhnya apa – apa yang telah ditetapkan terhadap sesuatu dizaman yang telah lalu maka dia tetap dan tidak berubah jika belum ditemukan dalil yang menyelisihinya.
Qo’dah ini merupakan dalil istishhab.
Istishhab secara bahasa adalah melazimi sesuatu dan meniadakan perpecahan dan secara istilah adalah tempat suatu pembahasan atau melazimi suatu huum yag ditunjukkan oleh syari’at atas ketetapan dan keberlangsungannya ( menurut ahli fikih ).
Contoh :
Barangsiapa yang meyaini ata mengetahui kalau dia dalam keadaan suci( sudah bersuci ) dan ragu dalam suatu hadats maka dia suci, dan apabila dia meykini atau mengetahui kalau dia berhadats ( belum bersuci ) atau dalam keadaan yang tidak suci dan ragu dia suci apa tidak maka dia berhadats atau tidak suci.

2)     الأصل براءة الذمة
Sesuatu itu terbebas dari tanggungan.
Dalil qo’idah ini adalah:
Rasulullah SAW bersabda : “ bukti itu bagi orang yang menuduh dan sumpah bagi orang yang dituduh” ( HR: bukhory dan muslim dan selainnya ).
Makna lughowi, az zimmah bermakna perjanjian atau ikatan dan keamanan.
Dan menurut ahli fiqhi zimmah itu adalah jiwa atau zat yang terikat dengan perjanjian.
Dan secara fiqhiyah qo’idah ini bermakna: suatu qo’dah yang menerangkan bahwa sesungguhnya manusia itu terbebas dari tanggungan, dari kewajiban terhadap sesuatu ataupun melaziminya. Dan tesibukan dengan tanggungan merupakan penyimpangan dari asli atau asalnya.

3)     ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
Apa – apa yang telah ditetapkan dengan keyakinan tidak akan bisa dirubah atau dihilangkan kecuali dengan keyakinan.
Qo’idah ini merupakan penjelasan untuk qo;idah kubro, karena yakin jika tidak dihilangkan dengan keraguan maka dia ( keyakinan ) hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan yang semisalnya saja.
Contoh:
Jika seseorang ragu dalam sujud atau rukuknya maka dia harus mengulanginya, dan jika setelahnya (sholat) maka tidak mengulanginya. Dan jika seseorang ragu dia sholat sudah tiga ata empat raka’at, maka dia harus mengambil yang empat.
Dan jika seseorang ragu bahwasanya dia telah mentholak sekali atau lebih banyak maka baginya ( tholak ) yang paling kecil, karena lebih meyakinkan.

4)     الأصل في الصفات – أو الأمور العارضة العدم
Asal dari suatu sifat atau perkara itu meniadakan sifat kebaruan.
Makna Qo’idah: sesungguhnya qo’idah ini berada pada perselisihan dalam menetapkan sifat yang baru dan meniadakannya,
Contoh:
Jika seseorang membeli perwalaian dengan kredit atau hutang, kemudian pemilik perwalian  mengatakan; saya ingin kamu bayar tunai, dan pembeli berkata; saya melepaskannya. Maka perkara ini diterima dengan sumpahnya, karena sifat asli perwalian adalah khusus.

5)     الأصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته
Sesuatu ( hukum ) itu dinisbatkan pada waktu terdekat kejadiannya.
Makna: jika terjadi perbedaan pada masa atau zaman modern perkara, maka perkara ini dinisbatkan pada waktu terdekat dari waktu – waktu pada perubahan itu yang mana belum ditetapkan penisbatannya pada waktu terjauh.
Maka suatu perkara ataupun kejadian pada waktu terdekat itu bisa diyakini, dan diragukan jika waktunya jauh.
Contoh:
Jika seseorang melihat mani dibaju atau celananya dan dia tidak ingat bahwa dia telah tadi malam dia mimpi basah, maka dia harus mandi.

6)     هل الأصل في الأشياء الإباحة أو الحرمة
Apakah asal dari sesuatu itu  boleh atau haram?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat dan dalil didalamnya:
Pertama, asal dari sesuatu itu boleh. Dalilnya : “ dialah ( Allah ) yang mejadikan atau menciptakan bagi kalian apa – apa yang ada dibumi dan dilangit”[2]. Dan sabda rasulullah SAW “  apa – apa yang dihalalkan Allah maka dia hala dan apa – apa yang idharamkan Allah maka dia haram dan apa – apa yang didiamkannya maka itu dibolehkan dan mendapatkan syafa’at dari Allah SWT, dan sesungguhnya Allah sungguh tidak akan lupa terhadap suatu apapun”[3].
Kedua, asal dari sesuatu itu haram. Ini dinisbatkan pada imam syafi’I dari perkataan imam abu hanifah, tapi tidak didapatkan perkataan abu hanifah yang seperti itu. Ini juga merupakan pendapat dari sebagian ahli hadits dan mu’tazilah dengan dalil; “ dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang dikatakan lisanmu secara dusta, ini halal ini haram”[4]. Dan sebagian mereka berdalil dengan sebda rasulullah SAW, “ kehalalan itu telah jelas dan keharaman itu telah jelas dan diantara keduanya terdapat perkara yang syubhat ( mergukan ) dan umat islam berhenti ( tidak mengikuti ) yang  syubhat”[5].
Ketiga, al wakfu yang bermakna bahwasanya belum diketahui apakah disini hukum atau tidak.
Dan perkataan yang rojih menurut imam hanafiah adalah perkataan yang pertama.
Contoh:
Hewan – hewan yang yang belum jelaa permasalahanya seperti jerafah dab gajah contohnya maka bisa jadi halal atau haram dan yang shohiih dari keduanya adalah kehalalan jerafah.
Dan tumbuh – tumbuhan yang tidak diketahui penamaan maka terdapat perselisihan didalamnya dan yang jelasnya ( tumbuhan ini ) halal.

7)     الصل في الأبضاع التحريم
Asal dari jimak itu haram.
Contoh:
Jika seseorang mewakilakan kepada orang lain untuk membeli budak, kemudian orang ini membeli budak dan mati, maka tidak halal bagi orang yang  mewalikan pembelian budak ini sampai jelas kepadanya akad pembeliannya, karena bisa orang yang mati ini membeli budak untuk dirinya sendiri.

8)     لا عبرة للدلالة في مقابلة التصريح
Tidak diaanggap suatu bukti jika bertentangan dengan lafaz yang shorih atau jelas.
Yang dimaksud dengan dalil disini adalah sesuatu yang bukan lapaz dari keadaan atau urf atau isyarat atau tangan atau yang lainnya.
Dan shorih menurut shli usul fiqhi adalah penjelasan yang jelas, tepat dan dapat dimengerti.
Contoh:
Apabila si-B masuk rumah seseorang dan dia mendapatkan gelas diatas meja makan dan dia minum darinya dan ada sisa minumnya pada gelas dan tumpah, maka tidak ada tanggungan baginya, karena dalil tentang hal yang mengizinkan untuk minum darinya.

9)   لا ينسب إلى ساكت قول – ولكن السكوت في معرض الحاجة إلى البيان بيان
Suatu perkataan itu tidak dinisbatkan pada diamnya seseorang,akan tetapi diamnya seseorang  yang tidak memerlukan penjelasan maka itulah penjelanya.
Contoh:
Apabila seorang janda diam ketika diminta izin dalam pernikahan, maka izinnya belum ada. Karena untuk seorang janda harus menggunakan lafaz shorih dalam pelamarannya.

10) لا عبرة بالتوهم
Tidak diambil ( hukum ) pada suatu prasangka yang lemah[6]
Makna:
La ‘ibroh bermakna tidak ada pelajaran atau teladan dan tidak dihiutng.
At tawahhum bermakna prasangka yang lemah.
Makna qo’idah: sesungguhnya tidak ditetapkan suatu hukum syar’I itu yang bersandar pada prasangka yang lemah.
Contoh:
Jika seorang saksi pergi atau mati setelah menyampaikan persaksiannya dalam sebuah mu’amalah maka bagi hakim untuk berhukum dengan persaksiannya dan tidak mengakhirkan sebuah hukum karena berprasangka ( yang lemah ) bahwa dia akan kembali dengan persaksiannya, karena prasangka ( yang lemah ) tidak diambil hukum darinya.

11) لا عبرة بالظن البين خطؤه
Prasangka yang jelas kesalahannya tidak bisa dijadikan sebagai hukum[7].
Makna Qo’idah:
Sesungguhnya apabila terjadi sebuah perbuatan dari hukum atau keputusan atas prasangka kemudian dijelaskan kesalahan dari prasangka itu maka wajib untuk tidak mengambil I’tibar (pertimbangan) dari perbuatan itu dan meninggalkannya.
Contoh:
Dalam ibadah, jika disangka bahwa air itu najis dan berwudhu dengannya kemudian dijelaskan bahwa air ini suci, maka boleh wudhunya – kalau belum sholat – dan jika sudah sholat maka sholatnya harus diulang.
Pengecualian:
Jika seseorang sholat dengan baju yang terkena najis yang kelaihatannya bersih ( dari najis ) maka sholatnya harus diulangi.
Jika sseorang sholat sementara dia berhadats yang kelihatannya dia sudah berwudhu, maka sholatnya harus diulangi.

12) الممتنع عادة كالممتنع حقيقة
Suatu penghalang yang biasa seperti penghalang yang sebenarnya[8].
Penghalang hakiki maksudnya adalah sesuatu yang mustahil yang tidak mungkin dicapai oleh akal (manusia biasa).
Contoh:
Barang siapa yang berkeinginan untuk memberikan kain yang terbalut didalamnya kain, maka dia harus memberikan kedua kain itu karena terdapat kain didalamnya. Dan barangsiapa yang berkeingina memberikan kain yang terbungkus oleh sepuluh kain maka dia cuma memberikan satu kain saja karena satu kain tidak bisa dibungkus dengan sepuluh kain.

13)  لا حجة مع الإحتمال الناشىء عن دليل
Tidak dianggap Suatu hujjah atau pengakuan yang terkandung kemungkinan – kemungkinan dari bukti[9].
Makna:
Hujjah maksudnya adalah petunjuk, dan dalil maksudnya adalah petunjuk.
Makna Qo’idah:
Sesungguhnya tidak diterima atau bermanfa’at hujjah ( pengakuan ) yang didalamnya terkandung kemungkinan yang dibangun dari dalil dzanniy ataupun qhot’iy yang mengandung kemungkinana – kemunginan.
Contoh:
Apabila seseorang didalam sakitnya yang hampir mencapai kematian mengaku memiliki hutang kepada anaknya yang pertama,maka pengakuannya ini tidak diterima jika belum dibenarkan oleh ahli waris yang lain. Karena bisa saja si sakit meninginkan bagian yang lebih untuk anak yang pertamanya dalam perkara warisan dan juga dikarenakan keadaannya yang sekarat memungkinkan apa yang diucapkannya tidak lagi sesuai dengan kenyataannya.
Pendapat ini menurut mazhab abu hanifah dan imam ahmad, sedangkan imam malik  berpendapat diterima pengakuannya jika tidak berubah dan jika berubah tidak diterima,
dan imam syafi’I berpendapat pengakuannya diterima[10]

الوجيز في إيضاح قواعد الفقه الكلية , الدكتور صدقي بن أحمد البورنو : 89 – 128



[1] Al madkhal al fikhiy hal 961
[2] Qs Al baqarah : 29
[3] HR: at thobroni dan bazaar dengan sanad hasan
[4] Qs : an nahl 116
[5] HR: al bukhory dan muslim tanpa kata والمؤمنون
[6] Al majalah materi 74, dan al madkhal li zarqo’ 582
[7] Syarah al majalah lil atasy 209 – 210 dengan perubahan dan aly haidar hal 65
[8] Qowaidul khodimiy hal 332, majalah ahkam 38, dan lainnya
[9] Qowaidul khadimiy hal 329, majalah ahkam al ‘adliyah 573, al madkhol al fiqhiy 583, syarah majalah al atasy 203 dan lainnya.
[10] Al iqsooh 2/18 dan takhrijul furu’ 212


Oleh : Azzam Al Indragiri / Ransi Mardi

MENINGGALKAN SUATU KERAGUAN

حدثنا أبو موسى الأنصاري, حدثنا عبدالله بن إدريس, حدثنا شعبة عن بريد بن مريم عن أبي الحوراء السعدي قال : قلت للحسن بن علي بن أبي طالب رضي الله عنهما ما حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم, قال : حفظت من رسول الله صلى الله عليه و سلم (( دع ما يريبك إلى ما لا يريبك )) ( رواه الترمذي و النسائي ).

Artinya : Abu musa al ‘anshory[1] telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin idris telah menceritakan kepada kami, syu’bah[2] telah menceritakan kepada kami dari Buraid bin maryam dari abu al hawra’ as sa’di telah berkata : Aku berkata kepada Hasan bin ‘ali bin abu thalib Rodiyallahu’anhuma[3], apa yang telah kamu hapal dari Rasulullah Sallallhu’alihiwasalam?  Maka dia berkata : Aku telah menghafal dari Rasulullah Salallahu’alaihiwasalam (( Tinggalkanlah apa – apa yang meragukanmu kepada apa – apa yang tidak meragukanmu )) ( HR: At tirmizi[4] dan An nasa’I[5] ).

Didalam jami’u tirmizi terdapat tambahan    .فإن الصدق طمأننة وإن الكذب ريبةYang artinya  :
( sesungguhnya kejujuran akan mendatangkan kedamaian atau ketenangan dan kedustaan akan mendatangkan keraguan )[6].
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan At-Tirmidzi, 4/77). Kisah yang dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin Ali c menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa masalahnya wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullahmenjawab: shallallahu‘alaihiwasallam
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”[7]
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya2 mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali. Dan hadits ini termasuk sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya.
            Hadits ini diriwayatkan dari cucu Nabi saw yang kebanyakan ulama menyatakan kemiripannya dengan kakeknya Rasulullah saw. Israil berkata: al hasan adalah manusia yang paling menyerupai Rasulullah saw dari dada sampai kepala, dan al husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw dibawah daripada itu[8]. Banyak para tabiian yang meriwayatkan hadits darinya, diantaranya; anak laki – lakinya al hasan, suwaid bin ghaflah, abu al haura’ as sa’di, asy sya’by, dan lain – lainnya.[9]
Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain (1/222-224). Sementara perkataan Jauzajani bahwasanya Abul Haura’ majhul, tidak diketahui keadaannya atau tidak dikenal sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/278) tidak benar keberadaannya, karena Abul Haura’ yang namanya Rabi`ah ibnu Syaiban As-Sa`di di-tsiqah-kan oleh Al-Imam An-Nasa’i rahimahullah. Berkata Al-`Ijli rahimahullah: “Rabi`ah (Abul Haura’) adalah seorang tabi`i lagi tsiqah.” Berkata Al-Hafizh rahimahullah: “Rabi`ah adalah tsiqah (terpercaya).”[10]
            Hadits ini merupakan jawami’ul kalam atau perkataan yang ringkas, padat, jelas dan sarat makna, dan juga hukum kenabian yang telah disampaikan yang dengan kalimatnya yang sedikit terkandung banyak Qo’idah – Qo’idah penting dalam agama islam; diantaranya, meninggalkan yang masih syubhat dan memibiasakan diri dengan kehalalan yang sudah diyakini. Maka dari itu Ibnu Hajar Alhaitami berkata: hadits ini merupakan Qo’idah utama dari Qo’idah – Qo’idah agama ( islam ), dan pada dasarnya orang yang wara’ adlah orang yang memiliki keyakinan, dan jalan yang menyalamatkan dari gelapnya keraguan dan angan – angan yang menjadi penghalang dari cahaya kebenaran[11]. Imam an nawawi berkata : “ sabda Rasulullah saw diatas merupakan dalil bahwa orang – orang bertaqwa sebaiknya jangan memakan harta yang mengandung subhat, apalagi memakan harta yang jelas – jelas haram[12].

PENJELASAN

            Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa – apa yang tidak meragukanmu, maksudnya adalah beralih kepada sesuatu yang tidak ada keraguan sama sekali didalamnya berupa makanan yang membuat hati merasa tentram dan jiwa merasa tenang, dan ragu disini bermakna bimbang[13]. Atau bermakna , meninggalkan apa – apa yang meragukanmu yang didalamnya terkandung syubhat dan meninggalkan apa – apa yang meragukanmu dalam perkara yang dianjurkan[14]. Atau keraguan yang berupa tuduhan[15]. Imam ibnu daqiq berkata : kalimat,  apa yang membuatmu ragu, maksudnya tinggallkanlah sesuatu yang kamumerasa ragu – ragu terhadapnya, dan beralih kepada sesuatu yang  kmau tidak merasa ragu – ragu terhadapnya, yang kembali pada hadits,  yang halal itu sudah jelas, yang haram itu sudah jelas dan yang diantara keduanya adalah perkara syubhat ( HR. Bukhory dan Muslim)[16]. Serta meninggalkan syubhat – syubhat dalam perkara ibadah, mu’amalah, pernikahan dan setiap pintu – pintu yang berkenaan dengan hukum, dan melazimi untuk mencari dan mengerjakan yang halal dalam masalah – masalah tadi dapat menyampaikan aatau menyebabkan seorang hamba menjadi wara’[17]. Syaikh utsaimin berkata : bersumber dari abu Muhammad al hasan bin ali ra, cucu Rasulullah saw, dari ayah dan ibunya, yaitu anak laki – laki putri Rasulullah saw. Ia yang terbaik diantara hasan – hasan yang lain, karena Rasulullah saw memujinya seraya bersabda,” sesungguhnya cucuku ini adalah seorang pemimpin, karena ia akan  mendamaikan dua golongan kaum muslimin ( yang bertikai ). Maksud dari tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu adalah; tinggalkan apa yang kamu ragu – ragu dan bimbang padanya kepada sesuatu yang kamu tidak ragu – ragu dan bimbang padanya, ini sama dengan hadits Rasulullah saw (( diantar keduanya ada perkara – perkar syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya, siapa yang taut syubhat maka dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya)) sesuatu yang membuat anda bimbang dan ragu – ragu, baik yang menyangkut urusan – urusan duniawi atau urusan – urusan akhirat, sebaiknya anda hindari dan tinggalkan, supaya tidak ada rasa gelisah dan bimbang terhadap apa yang anda lakukan[18]. Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat[19].

PERKATAAN DAN PERBUATAN ULAMA

·         Abu dzar alghifary ra berkata: kesempurnaan suatu ketakwaan itu meninggalkan sebagian yang halal karena takut menjadi haram.
Abu abdurrohman alumary a zahid berkata: apabila seorang hamba itu memiliki sifat wara’ maka dia akan meninggalkan apa yang meragukannya kepada apa yang tidak meragukannya.
Alfudhail berkata: manusia menganggap wara’ itu berat, dan apabila datang kepadaku dua perkara kecuali aku akan mengambil yang paling berat diantara keduanya.
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi berkata: wara’ itu ada 4 tingkatan:
 1 Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2 Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3 Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yangharam.
4 Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya)[20].
Hasan bin abi sinan berkata: tidaklah sesuatu lebih ringan daripada wara’, jika kamu bimbang terhadap suatu perkara maka tinggalkanlah dia[21].
Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat[22]
·         Dikatakan kepada ibnu adham, “ kenapa engkau tidak minum dari air zam – zam”??? Maka dia menjawab, “  kalaulah aku mempunyai timba maka aku akan minum”. Hal ini mengisyaratkan atau menunjukkan bahwasanya timba yang ada adalah dari pemerintah dan it adalah perkara yang meragukkan[23].
Adalah zaid bin zari’ ketika diberi 500 rbu warisan dan dia tidak mengambilnya karena ayahnya bekerja dipemerintahan. Dan zaid bekerja sendiri membuat keranjang dari daun kurma dan makan dari hasilnya sendiri[24].
‘Aisyah mengabarkan bahwa Abu Bakar z pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Maka budak tadi berkata kepadanya: “Apakah engkau tahu dari mana aku dapatkan makanan ini?” Abu Bakar zbertanya: “Dari mana engkau mendapatkannya?” Budaknya menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku pernah meramal untuk seseorang, sebenarnya aku tidak pandai meramal namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.” Mendengar hal tersebut Abu Bakarzsegera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang terlanjur masuk ke dalam kerongkongannya, kemudian ia memuntahkan semua makanan itu[25]
Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul Khaththab zmenetapkan subsidi rutin bagi para shahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4000 sementara putranya ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada yang berkata kepada ‘Umar: “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?” Umar menjawab: “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya)[26].
·         Apabila bersinggungan antara keraguan dan keyakinan maka kami mengambil keyakinan itu, mendahulukannya dan kami berpaling dari keraguan. Makna ini berkesesuaian dengan qo’dah fiqhiah yang ketiga, yakni keyakinan tidak akan terhapus atau terkalahkan dengan keraguan[27].
·         Dan hadits ini menunjukkan kita agar meninggalkan hal – hal yang membuat kita ragu dan memilih hal – hal yang membuat kita yakin alias tidak ragu – ragu terhadapnya[28].

FAEDAH HADITS

1 Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauh dari perkara syubhat.
2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3. Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya, demikian pula perkara dosa.
4. Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agamanya dan kehormatannya.
5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara‘, adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara‘ yang hambar, tanpa makna.
6 Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Bila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini agar sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut atau tidak ada hawa nafsu yang mempengaruhinya.
7. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan jawami`ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana dikandung dalam hadits ini[29].

MAROJI’
1.      Al wafi fi syarhi arba’in an nawawi, DR. musthofa albugho dan muhyuddin mistu, daru ibnu katsir, dimasqo Beirut.
2.      Tuhfatu ahwazi juz 7, almubarokfury, daru al fikr.
3.      Siaru a’lam an nubala’, syamsuddin Muhammad bin ahmad bin ustman az zahaby, juz 3.
4.      Syarah arba’in nawawiyah, imam nawawi, akbar media
5.      Shohih al bukhory
6.      Fathul Qodir
7.      Mukhtasor minhajul qosidin
8.      Tahdzibul kamal
9.      www asy syari’ah.com



[1]  Dia adalah ishaq bin musa al anshory ( tuhfatul ahwazi, al mubarakfury : 230 )
[2] Kemungkinan ini, Nama sebenarnya adalah Abu Bustham Syu’bah Ibnul Hajjaj al “Utakiy al Azdy, ia berasala dari Wasith kemudian hijrah dan menetap di Bashrah. Ia seorang ulama dari golongan tabi’it tabi’in dan seorang yang hafidh dari tokoh hadits. Ia menerima hadits dari Ibnu Sirin, Amr bin Dinar, asy Sya’by dan dari sejumlah tabi’in lainnya. Diantara yang menerima hadits darinya adalah al A’Masy, ayyub as Sakhtayany, Muhammad Ibnu Ishaq, ats Tsaury, Ibnu Mahdy, Wakie’, Ibnul Mubarak, Yahya al Qaththan dan lain lainnya. Beliau diakui sebagai imam hadits yang sangat kokoh hapalannya. Ahmad bin Hanbal berkata,” Tidak ada di masa Syu’bah orang yang sepertinya dalam bidang hadits dan tidak ada yang lebih baik tentang hal hadits daripadaanya”. Asy Syafi’iy berkata, “ Andaikata tidak ada Syu’bah, orang irak tidak banyak mengetahui hadits” sedangkan Sufyan ats Tsaury berkata,” Syu’bah adalah Amirul Mukminin dalam bidang hadits”. Dan Shalih Ibnu Muhammad berkata,” Ulama yang mau mengatakan tentang hal rijal hadits adalah Syu’bah”. Ia wafat di Bashrah pada tahun 160 H dalam usia 77 tahun (tahdzib at tahdzib, ibnu hajar al asqolani).
[3]  Abu Muhammad, alhasan bin ali bin abi tholib al qursyi al hasyimi al madani as syahid, cucu kesayangan Rasulullah saw dan pemimpin para pemuda ahlu jannah. Lahir pada sya’ban tahun ketiga hijriah dan ada yang mengatakan lahir pada pertengahan ramadhan tahun ketiga hijriah dan tutup usia pada tahun 49 hijriah, dan ada juga yang mengatakan pada tahun 50 hijriah atau 51 hijriah ( siaru a’lam an nubala’, syamsuddin Muhammad bin ahmad bin ustman az zahaby : 245 – 279 ). Rasulullah bersabda:
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]
[4]  Nama lengkapnya adalah Imam Al-Hafidz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi. Dia adalah salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur. Tirmidzi lahir pada 279 H di kota Tirmiz dan wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun. Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka. Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin Al-Musanna dan lain-lain. Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Aid bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain. Abu Isa At-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. (tahdzib at tahdzib, ibnu hajar al asqolani).
[5]  Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’I dan wafat pada tahun 303 H. (tahdzib at tahdzib, ibnu hajar al asqolani).
[6]  Jami’u atAt tirmizi
[7]  Al Wafi, DR. Musthofa al bugho dan muhyuddin situ
[8]  Siaru a’lam an nubala’
[9]  Ibid
[10]  Tahdzibul Kamal, 9/117, Tahdzibut Tahdzib, 3/221, At-Taqrib, hal. 147
[11]  Al wafi fi syarhi arba’in an nawawi ( DR. Musthofa al bugho dan muhyuddin mistu : 85 )
[12]  Syarah  arba’in an nawawi ( imam nawawi : 73 ).
[13]  Syarah arba’in an nawawi ( imam nawawi : 73 )
[14]  Al wafi fi syarhi arba’in an nawawi ( DR. Musthofa bugho dan syamsuddin mistu : 85 )
[15]  Tuhfatul ahwazi ( almubarakfury : 230 )
[16]  ibid
[17] Al wafi
[18]  Syarah arb’in hal 74
[19]  Fathul qadir 3/529
[20]  Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88
[21]  Al wafi ( h: 86 )
[22]  Faidhul Qadir, 3/529
[23]  ibid
[24]  ibid
[25]  Shohih al bukhory no 3842
[26]  Shohih  al bukhory no 3912
[27]  Al wafi hal 87
[28]  Syarah arba’in an nawawi hal 74
[29]  Ww asy syari’ah.com