Senin, 23 April 2012

Ciri Wanita Bertaqwa


Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Di antara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :
  1. Bertakwa.
     
  2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
     
  3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.
     
  4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.
     
  5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.
     
  6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.
     
  7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.
     
  8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.
     
  9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.
     
  10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.
     
  11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.
     
  12.  Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).
     
  13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.
     
  14. Berbakti kepada kedua orang tua.
     
  15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.
Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman : “ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.”(QS. An Nisa’ : 13)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
(Muslimahzone.com)

13 Penawar Racun Kemaksiatan


13 Penawar Racun Kemaksiatan
Muslimahzone.com - ”Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Barangsiapa yang melakukan kebajikan, maka ia mendapatkan pahala sepuluh kebajikan dan Aku tambah dan barangsiapa yang melakukan keburukan keburukan, maka balasannya satu keburukan yang sama, atau diampuni dosanya. Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta dan barangsiapa yang mendekat kepada-ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa; barangsiapa yang datang kepada-ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari. Barangsiapa yang menemui-Ku dengan dosa sepenuh bumi tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, maka Aku menemuinya dengan maghfirah yang sama.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Berikut ini ada beberapa terapi mujarab untuk menawar racun kemaksiatan.
1. Anggaplah besar dosamu
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata, ”Orang beriman melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah gunung, ia takut gunung tersebut menimpanya. Sementara orang yang fajir (suka berbuat dosa) dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya.”
2. Janganlah meremehkan dosa
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Janganlah kamu meremehkan dosa, seperti kaum yang singgah di perut lembah. Lalu seseorang datang membawa ranting dan seorang lainnya lagi datang membawa ranting sehingga mereka dapat menanak roti mereka. Kapan saja orang yang melakukan suatu dosa menganggap remeh suatu dosa, maka itu akan membinasakannya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan)
3. Janganlah mujaharah (menceritakan dosa)
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Semua umatku dimaafkan kecuali mujahirun (orang yang berterus terang). Termasuk mujaharah ialah seseorang yang melakukan suatu amal (keburukan) pada malam hari kemudian pada pagi harinya ia membeberkannya, padahal Allah telah menutupinya, ia berkata, ‘Wahai fulan, tadi malam aku telah melakukan demikian dan demikian’. Pada maalm hari Tuhannya telah menutupi kesalahannya tetapi pada pagi harinya ia membuka tabir Allah yang menutupinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Taubat nasuha yang tulus
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya tatkala bertaubat daripada seorang di antara kamu yang berada di atas kendaraannya di padang pasir yang tandus. Kemudian kendaraan itu hilang darinya, padahal di atas kendaraan itu terdapat makanan dan minumannya. Ia sedih kehilangan hal itu, lalu ia menuju pohon dan tidur di bawah naungannya dalam keaadaan bersedih terhadap kendaraannya. Saat ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba kendaraannya muncul di dekatnya, lalu ia mengambil tali kendalinya. Kemudian ia berkata, karena sangat bergembira, ‘Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu’. Ia salah ucap karena sangat bergembira”. (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Jika dosa berulang, maka ulangilah bertaubat
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata, ”Sebaik-baik kalian adalah setiap orang yang diuji (dengan dosa) lagi bertaubat.” ditanyakan, ‘Jika ia mengulangi lagi?’ Ia menjawab, ‘Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat.’ Ditanyakan, ‘Jika ia kembali berbuat dosa?’ Ia menjawab, ‘Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat.’ Ditanyakan, ‘Sampai kapan?’ Dia menjawab, ‘Sampai setan berputus asa.”’
6. Jauhi faktor-faktor penyebab kemaksiatan
Orang yang bertaubat harus menjauhi situasi dan kondisi yang biasa ia temui pada saat melakukan kemaksiatan serta menjauh darinya secara keseluruhan dan sibuk dengan selainnya.
7. Senantiasa beristighfar
Saat-saat beristighfar:
a. Ketika melakukan dosa
b. Setelah melakukan ketaatan
c. Dalam dzikir-dzikir rutin harian
d. Senantiasa beristighfar setiap saat
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam beristighfar kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali (dalam hadits lain 100 kali).
8. Apakah anda berjanji kepada Allah untuk meninggalkan kemaksiatan?
Tidak ada bedanya antara orang yang berjanji kepada Allah (berupa nadzar atas tebusan dosa yang dilakukannya) dengan orang yang tidak melakukannya. Karena yang menyebabkan dirinya terjerumus ke dalam kemksiatan tidak lain hanyalah karena panggilan syahwat (hawa nafsu) lebih mendominasi dirinya daripada panggilan iman. Janji tersebut tidak dapat melakukan apa-apa dan tidak berguna.
9. Melakukan kebajikan setelah keburukan
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda,
”Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan iringilah keburukan dengan kebajikan maka kebajikan itu akan menghapus keburukan tersebut, serta perlakukanlah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih))
10. Merealisasikan tauhid
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda,
”Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Barangsiapa yang melakukan kebajikan, maka ia mendapatkan pahala sepuluh kebajikan dan Aku tambah dan barangsiapa yang melakukan keburukan keburukan, maka balasannya satu keburukan yang sama, atau diampuni dosanya. Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta dan barangsiapa yang mendekat kepada-ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa; barangsiapa yang datang kepada-ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari. Barangsiapa yang menemui-Ku dengan dosa sepenuh bumi tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, maka Aku menemuinya dengan maghfirah yang sama.” (HR. Muslim dan Ahmad)
11. Jangan berpisah dengan orang-orang yang baik
a. Persahabatan dengan orang-orang baik adalah amal shalih
b. Mencintai orang-orang shalih menyebabkan sesorang bersama mereka, walaupun ia tidak mencapai kedudukan mereka dalam amal
c. Manusia itu ada 3 golongan
i. Golongan yang membawa dirinya dengan kendali takwa dan mencegahnya dari kemaksiatan. Inilah golongan terbaik.
ii. Golongan yang melakukan kemaksiatan dalam keadaan takut dan menyesal. Ia merasa dirinya berada dalam bahaya yang besar, dan ia berharapa suatu hari dapat berpisah dari kemaksiatan tersebut.
iii. Golongan yang mencari kemaksiatan, bergembira dengannya dan menyesal karena kehilangan hal itu.
d. Penyesalan dan penderitaan karena melakukan kemaksiatan hanya dapat dipetik dari persahabatan yang baik
e. Tidak ada alasan untuk berpisah dengan orang-orang yang baik
12. Jangan tinggalkan da’wah
Said bin Jubair berkata, ”Sekiranya sesorang tidak boleh menyuruh kebajikan dan mencegah dari kemungkaran sehingga tidak ada dalam dirinya sesuatu (kesalahanpun), maka tidak ada seorangpun yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran.” Imam malik berkomentar, ”Ia benar. Siapakah yang pada dirinya tidak ada sesuatupun (kesalahan).”
13. Jangan cela orang lain karena perbuatan dosanya
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam menceritakan kepada para shahabat bahwasanya seseorang berkata, ”Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Allah swt berkata, ”Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosanya dan Aku telah menghapus amalmu.” (HR. Muslim).
*Disadur secara ringkas dari buku 13 Penawar Racun kemaksiatan (terjemahan dari kitab Sabiilun najah min syu’mil ma’shiyyah) karangan Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy, terbitan Darul Haq, Jakarta.
(musimahzone)

Rabu, 18 April 2012

PENYAKIT YANG MENIMPA PEREMPUAN YANG TIDAK BERJILBAB





Rasulullah bersabda, “Para wanita yang berpakaian tetapi (pada hakikatnya) telanjang, lenggak-lengkok, kepala mereka seperti punuk unta, mereka tidak akan masuk surga dan tiada mencium semerbak harumnya (HR. Abu Daud) Rasulullah bersabda, “Tidak diterima sholat wanita dewasa kecuali yang memakai khimar (jilbab) (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, bn Majah)

Penelitian ilmiah kontemporer telah menemukan bahwasannya perempuan yang tidak berjilbab atau berpakaian tetapi ketat, atau transparan maka ia akan mengalami berbagai penyakit kanker ganas di sekujur anggota tubuhnya yang terbuka, apa lagi gadis ataupun putri-putri yang mengenakan pakaian ketat-ketat. Majalah kedokteran Inggris melansir hasil penelitian ilmiah ini dengan mengutip beberapa fakta, diantaranya bahwasanya kanker ganas milanoma pada usia dini, dan semakin bertambah dan menyebar sampai di kaki. Dan sebab utama penyakit kanker ganas ini adalah pakaian ketat yang dikenakan oleh putri-putri di terik matahari, dalam waktu yang panjang setelah bertahun-tahun. Dan kaos kaki nilon yang mereka kenakan tidak sedikitpun bermanfaat didalam menjaga kaki mereka dari kanker ganas. Dan sungguh Majalah kedokteran Inggris tersebut telah pun telah melakukan polling tentang penyakit milanoma ini, dan seolah keadaan mereka mirip dengan keadaan orang-orang pendurhaka (orang-orang kafir Arab) yang di da’wahi oleh Rasulullah. Tentang hal ini Allah berfirman: “Dan ingatlah ketika mereka katakan: Ya Allah andai hal ini (Al-Qur’an) adalah benar dari sisimu maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih” ( Q.S. Al-Anfaal:32)

Dan sungguh telah datang azab yang pedih ataupun yang lebih ringan dari hal itu, yaitu kanker ganas, dimana kanker itu adalah seganas-ganasnya kanker dari berbagai kanker. Dan penyakit ini merupakan akibat dari sengatan matahari yang mengandung ultraviolet dalam waktu yang panjang disekujur pakaian yang ketat, pakaian pantai (yang biasa dipakai orang-orang kafir ketika di pantai dan berjemur di sana) yang mereka kenakan. Dan penyakit ini terkadang mengenai seluruh tubuh dan dengan kadar yang berbeda-beda. Yang muncul pertama kali adalah seperti bulatan berwarna hitam agak lebar. Dan terkadang berupa bulatan kecil saja, kebanyakan di daerah kaki atau betis, dan terkadang di daerah sekitar mata; kemudian menyebar ke seluruh bagian tubuh disertai pertumbuhan di daerah-daerah yang biasa terlihat, pertautan limpa (daerah di atas paha), dan menyerang darah, dan menetap di hati serta merusaknya.

Terkadang juga menetap di sekujur tubuh, diantaranya: tulang, dan bagian dalam dada dan perut karena adanya dua ginjal, sampai menyebabkan air kencing berwarna hitam karena rusaknya ginjal akibat serangan penyakit kanker ganas ini. Dan terkadang juga menyerang janin di dalam rahim ibu yang sedang mengandung. Orang yang menderita kanker ganas ini tidak akan hidup lama, sebagaimana obat luka sebagai kesempatan untuk sembuh untuk semua jenis kanker (selain kanker ganas ini), dimana obat-obatan ini belum bisa mengobati kanker ganas ini.

Dari sini, kita mengetahui hikmah yang agung anatomi tubuh manusia di dalam perspektif Islam tentang perempuan-perempuan yang melanggar batas-batas syari’at. yaitu bahwa model pakaian perempuan yang benar adalah yang menutupi seluruh tubuhnya, tidak ketat, tidak transparan, kecuali wajah dan telapak tangan. Dan sungguh semakin jelaslah bahwa pakaian yang sederhana dan sopan adalah upaya preventif yang paling bagus agar tidak terkena “adzab dunia” seperti penyakit tersebut di atas, apalagi adzab akhirat yang jauh lebih dahsyat dan pedih. Kemudian, apakah setelah adanya kesaksian dari ilmu pengetahuan kontemporer ini -padahal sudah ada penegasan hukum syari’at yang bijak sejak 14 abad silam- kita akan tetap tidak berpakaian yang baik (jilbab), bahkan malah tetap bertabarruj???

( Sumber: Al-I’jaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah, Oleh: Muhammad Kamil Abd Al-Shomad )

Minggu, 15 April 2012

BEDA ANTARA AD DHORURO DAN HAAJAH



Oleh: Azzam al Indragiri/ Ransi Mardi
TA’RIF
                Kata Haajah merupakan isim masdar dari kata احتاج yang bermakna membutuhkan atau memerlukan[1], atau bermakna افتقر yang artinya membutuhkan[2].bisa juga dikatakan, “kebutuhan seseorang kepada suatu perkara yang dilarang baginya untuk melakukannya”[3]. Asy syatibiy berkata, “ haajah adalah kebuthan seseorang kepada suatu perkara dari sisi keluasannya dan menghilangkan kesulitan yang ditemuinya”[4]. Atau kondisi pada seseorang jika tidak melakukan yang diharamkan berada dalam posisi yang berat dan sulit.
Contohnya, kebutuhan seseorang akan makanan dan minuman ketika kehausan dan kelaparan.
                Dhoruro secara etimology bermakna kebutuhan seseorang kepada sesuatu[5]. Dan secara terminology mempunyai dua makna, menurut faqih dan usuliy. Menurut faqih adalah sampainya seseorang pada situasi yang mana jika dia tidak mengambil yang dilarang maka akan berdampak kepada kerusakan ( kematian ), makanya dhoruro membolehkan sesuatu yang diharamkan[6]. Dan menurut usuliy adalah setiap kabar dhoruro yang berkaitan dengan maslah politik Negara ( السياسة العالم )[7]. Juga bermakna sesuatu yang jika tidak melakukan yang diharamkan Allah dipastikan akan menimbulkan bahaya kematian atau mendekati kematian.
Contohnya: seseorang dipaksa mengucapkan kalimat kufur, atau seseorang yang tersesat dipadang pasir, tidak menemui makanan kecuali bangkai maka dia boleh memakannya.
                Haajah sendiri terbagi menjadi dua macam, Haajah ‘am dan Haajah khos.
·         Hajah yang bersifat umum adalah hajah yang sudah menjadi kebutuhan seluruh manusia secara umum seperti pertanian, produksi, perdagangan dan sistem politik yang adil.
Contohnya: jual beli hutang dengan hutang.

·         hajah yang bersifat khusus ialah hajah yang dibutuhkan oleh sekelompok manusia secara khusus dan terbatas, seperti dibolehkannya memakai sutera bagi seorang lelaki yang mengidap penyakit kulit[8].
Akan tetapi Al-hajah juga mempunyai pengaruh dalam proses perubahan status hukum, hanya saja kadar pengaruhnya berada di bawah dharurah. Atau dalam kata lain, dharurah dan hajah adalah dua hal yang sama-sama mempunyai pengaruh dalam perubahan status hukum, namun secara formatif dharurah berada di atas hajah dalam besar kecilnya pengaruh itu tersebut.
SYARAT-SYARAT  DHORUROOH
1.       Syarat pertama:  hendaknya kondisi genting, gawat & bahaya  tersebut bisa hilang dengan mengerjakan hal yang haram tersebut , jika tidak bisa hilang keadaan genting tersebut maka tidak boleh mengerjakan hal yang haram tersebut, ahlul fiqh memberikan misal : orang yang sangat kehausan dan tidak mendapati air kecuali khomer ( minuman keras ) maka ini tidak boleh diambil untuk di minum karena khamer ( minuman keras ) tidak menhilangkan dahaga dan haus , bahkan akan membuat orang tersebut semakin kehausan dansemakin dahaga , maka hal yang haram disini malah justru menambah bahaya dan tidak bisa menhilangkan bahaya tersebut .
2.       Syarat kedua : tidak ada jalan lain untuk menghilangakn kondisi gawat dan bahaya tersebut , namun jika ada jalan lain maka tidka boleh mengerjakan hal yang haram tersebut, misalnya : ada dokter laki laki dan dokter perempaun , sedang pasiennya adalah pasien perempuan maka kita mengunakan dokter perempuan untuk memeriksa tubuh pasen perempuan yang sakit tersebut, dan kita tidak boleh memilih dokter laki-laki untuk memeriksa pasien perempuan dikarenakan adanya dokter wanita yang siap  Dan juga termasuk syarat dari qaidah ini adalah : hendaknya hal yang haram tersebut lebih sedikit dari dhorurah ( bahaya ) maka jika dhorurohnya ( bahayanya) lebih besar maka tidak boleh.
Didalam al mughniy disebutkan, “sesungguhnya darurat itu hanya yang berkait dengan kekhawatiran terhadap kematian saja. Demikian menurut pendapat yang shahih. Pendapat yang dikutib dari imam ahmad bin hanbal menyatakan, disebut dalam keadaan darurat kalau seseorang yakin bahwa nyawanya nyaris terancam melayang kalau sampai ia tidak mau memakan sesuatu yang haram. Ada yang berpendapat, tidak harus. Seseorang yang takut akan terjadi resiko pada dirinya saja sudah bisa dikatakan ia dalam keadaan darurat”[9].

PERBEDAAN ANTARA DHORURO DAN HAAJAH
1.       kondisi darurat menyebabkan dibolehkannya sesuatu yang diharamkan Allah, baik yang menimpa individu maupun jamaah. Sedangkan hajat tidak mendapatkan dispensasi keringanan dari hukum kecuali jika hajat tersebut menimpa jamaah (kelompok manusia). Karena setiap individu memiliki hajat masing-masing dan berbeda dari yang lain, maka tidak mungkin setiap orang mendapatkan hukum khusus. Lain halnya pada kondisi darurat karena ia merupakan kondisi yang langka dan terbatas.
2.       Hukum rukhsoh karena darurat adalah penghalalan sementara pada sesuatu yang diharamkan secara nash dan penghalalan tersebut selesai dengan lenyapnya kondisi darurat dan terbatas pada seseorang yang tertimpa kondisi tersebut. Adapun hukum yang dibangun atas hajat adalah hukum yang tidak bertentangan dengan nash tetapi bertentangan dengan kaidah dan qiyas yang bersifat umum. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa bunga bank yang diharamkan adalah bunga bank yang konsumtif sedangkan yang produktif tidak dilarang. Tetapi pendapat ini bertentangan dengan realitas masyarakat Quraisy di Mekkah, dimana mayoritas mereka adalah pedagang yang biasa melakukan perdagangan luar negeri antara Yaman dan Syam, dan mereka bermuamalah dengan riba’ untuk tujuan dagang. Pendapat ulama yang lain mengatakan bahwa bunga bank yang diharamkan adalah bunga bank yang berlipat ganda itu (adh’afan mudha’afah) sedang riba yang kecil seperti 10%, atau 5% tidak termasuk riba yang dilarang. Tetapi pendapat ini juga tertolak karena ungkapan adh’afan mudha’afah adalah dalam konteks menerangkan kondisi obyektif riba atau bunga bank dan sekaligus mengecamnya. Bahkan jika kita berpegang pada zhahirnya ayat, maka yang disebut berlipat ganda itu besarnya 600% -sebagaimana dikatakan Prof. Dr. Muhammad Diraz- karena kata adh’af merupakan bentuk jama, paling sedikit tiga, maka jika tiga dilipatgandakan akan menjadi enam maka berlipat ganda berarti 6 kali atau 600%. Maka hal ini tidak akan pernah terjadi pada perbankan manapun. Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi umat Islam bermuamalah dengan bunga bank yang dilakukan oleh bank konvensional. Apalagi sekarang sudah mulai bermunculan Bank Islam atau Bank Syari’ah yang tidak mempraktekkan riba’[10].
3.       Ad- dhorurah bersifat individu,tidak berkaitan denga orang lain, adapun al- hajah biasanya tergantung pada perkiraan dan kebiasan secara umum.
4.       Ad- dhorurah membolehkan sesuatu yang banyak dan ringan adapun al- hajah hanya membolehkan sesuatu yang ringan[11].



الحمد لله





[1] Majalah jami’ah dimasyqo lil ulumi al iqtisodiyah wa al qonuniyah.26/1. Th. 2010
[2] Al munjid :120 bab حاج
[3] Al munjid : 447 bab ضر
[4] Majalah jami’ah
[5] Al munjid : 447 bab ضر
[6] Perkata’an imam suyutiy
[7] Al majalah dimasyqo
[8] Al majalah dimasyqo
[9] Al mughniy, ibnu qudamah
[10] Muhammad yusuf
[11] Al majalah dimasyqo

Jumat, 13 April 2012

WAJIB



Oleh: Azzam Al Indragiri/ Ransi Mardi
·         Ta’rif
            Secara Estimologi terdapat perbedaan makna antara Wajib dan Fardhu, adapun Wajib bisa bermakna السقوط  ( jatuh ). sedangkan Fardhu bermakna القطع  (batasan / ukuran ). Dan yang disepakati makna dari kedua kata ini ( wajib dan fardhu ) adalah الحتم و الإلزام  (keputusan dan paksaan )[1].
Dan secara Terminology Wajib bermakna, ketetapan / tuntutan/perintah  Allah SWT untuk melakukan suatu perkara kepada Mukallaf  secara tegas ( paksa )[2].  Dan yang membedakan antara Wajib dengan yang lainnya adalah, bahwa pelakunya mendapatkan pujian dan orang yang meninggalkannya mendapatkan celaan secara langsung[3].

·         Hukum
Bawasanya wajib bagi seorang Mukallaf itu untuk melaksanakannya, maka pelakunya diberi pahala dan orang yang meninggalkannya akan diberi sanksi berupa siksaan, dan dikafirkan orang yang mengingkarinya jika ditetapkan dengan dalil Qhot’iy[4].
Menurut Jumhur ulama’ tidak ada perbedaan antara Fardhu dan Wajib, keduanya sama – sama mewajibkan celaan terhadap orang yang meninggalkannya secara syar’iy. Tetapi Hanafiah membedakan antara Fardu dan Wajib. Adapun Fardhu menurut Hanafiah bermakna,  apa – apa yang ditetapkan dengan dalil Qhot’iy yang tidak ada syubhat didalamnya”, seperti Rukun Islam yang ditetapkan dengan Al Qur’an dan Hadits yang mutawatir. Sedangkan Wajib adalah, “ apa – apa yang ditetapkan dengan dalil Zhonniy yang terdapat syubhat didalamnya” , seperti Zakat Fitri, Sholat Witir dan Sholat ‘Aidain[5].
Sebagian ulama seperti Al Āmady dan Ar Rozy berkata[6]: sesungguhnya perbedaan anara Jumhur Ulama’ dan Hanafiah adalah ( perbedaan dalam ) lafaz. Akan tetapi pada hakikatnya Hanafiah menetapkan atas perbedaan ini ( juga dalam ) sebagian atsar fiqhiyah. Dari sisi hukum : dikafirkan bagi orang yang mengingkari Fardhu dan tidak dikafirkan orang yang mengingkari Wajib. Dan dari sisi atsar fiqhiyah : mereka berkata bawha meninggalkan bacaan ( Al Qur’an ) dalam sholat secara mutlak membatalkan sholat, karena perkara ini terdapat didalam Al Qur’an ( فاقرؤو ما تيسر من القرأن ), dan adapun meninggalkan bacaan Al fatihah dalam sholat tidak membatalkan sholat, karena ditetapkan dengan khobar ahad ( لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب )[7].
Dan perbedaan ini tidak diterima dari sisi lain[8].
·         Macam – Macam Wajib

Ditinjau dari waktu pelaksanaannya[9]:
1.      Wajib Mutlak, adalah perintah Allah SWT untuk melakukan suatu perkara secara tegas dan belum ditentukan waktu untuk pelaksanaannya. Seperti menebus sumpah, tidak ada waktu tertentu untuk pelakunya, dan pelaksanaan haji, wajib bagi yang mampu tapi tidak ditentukan tahun tertentu untuk melaksanakannya.
2.      Wajib Muqoyyad atau Muaqqot, adalah perintah Allah SWT untuk melakukan suatu perkara secara tegas pada waktu yang telah ditetapkan. Seperti Sholat lima waktu dan Puasa Ramadhan.
Wajib Muqoyyad menurut Hanafiah dibagi tiga:
                                                        I.            Wajib Muwassa’. Yaitu wajib yang waktunya ditentukan  Allah SWT, luas waktu pelaksanaan untuknya dan untuk selainya dari ibadah yang sejenis. Seperti waktu Sholat zuhur, bisa ketika waktu Sholat zuhur melakukan Sholat zuhur sendiri dan beberapa Sholat nafilah lainnya.
                                                      II.            Wajib Mudoyyaq. Yaitu wajib yang waktu pelaksanaannya terbatas untuknya saja, tidak untuk yang lainnya. Seperti puasa Ramadhan,tidak bisa melakukan puasa sunnah yang lain pada bulan ramadhan.
                                                    III.            Wajib Zu syubhain. Yaitu wajib yang disatu sisi dia terbatas dan disatu sisi yang lain luas. Seperti haji.

Ditinjau dari penetapannya oleh syari’ [10]:
1.      Wajib Muhaddad, adalah  Hukum yang ditetapkan syari’ dengan ukuran tertentu, maka tidak terlepas tanggung jawab seorang mukallaf kecuali dengan dia melakukan apa yang telah ditentukan syari’. Seperti Sholat lima waktu.
2.      Wajib Ghoiru muhaddad, adalah hukum yang belum ditentukan syari’ ukurannya. Seperti infaq fi sabilillah.

Ditinjau dari siapa yang ditinjau untuk melakukannya[11]:
1.      Wajib ‘Ainiy, adalah ketetapan Allah SWT kepada mukallaf secara spesifik, dan tidak cukup sebagian dari mukallaf saja yang melakukannya. Seperti sholat, zakat, haji, meninggalkan yang haram dan lainnya. Hukumnya ; wajib bagi setiap mukallaf untuk melaksanakannya.
2.      Wajib Kifa’iy, adalah ketetapan Allah SWT ( yang boleh dilakukan ) oleh sekelompok mukallaf saja, tidak untuk setiap orang. Apabila telah dilakukan oleh sebagian maka terhapus kewajiban untuk yang lain. Seperti sholat jenazah, menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar dan lainnya. Hukumnya; wajib untuk sekelompok.

Ditinjau dari penentuan ketetapannya[12]:
1.      Wajib Mu’ayyan, adalah ketetapan Allah SWT secara spesifik tanpa pilihan antaranya dan yang lain. Seperti sholat, puasa, mengembalikan barang yang dighosob dan membayar upah. Hukumnya; tidak terlepas tanggung jawab seorang mukallaf kecuali dengan melkukannya secara spesifik.
2.      Wajib Mukhoyyar atau Mubham, adalah ketetapan Allah SWT yang belum jelas meliputi perkara – perkara tertentu. Seperti  melaksanakan kafarot, wajib jika dalam keadaan lapang untuk melaksanakan salah satu dari tiga perkara berikut, memberi makan sepluh orang miskin,membelikan pakaian untuk sepuluh orang atau membebaskan budak, tapi jika dalam keadaan berat maka berpuasa tiga hari. Hukumnya; wajib bagi mukallaf untuk melakukan satu saja dari perkara – perkara yang dipilihkan Allah SWT. Dan bagi yang belum menjalankan ataupun memenuhinya, akan mendapatka dosa dan hukuman dari Allah SWT.

·         Wajib didapatkan pada[13]:
1.      Dari bentuk lafaz perintah. (واقيمو الصلاة و اتوا الزكاة  )
2.      Masdar naib dari fi’ilnya. ( فإذا ليتم الذين كفروا فضرب الرقاب )
3.      Fi’il mudhori’ yang bersambung dengan lam. ( لينفق ذو سعة من سعته )
4.      Lafaz كُتِبَ dan فرض. ( كتب عليكم الصيام )
5.      Lafaz على yang berupa tuntutan. ( والله على الناس حج البيت ).


[1]  Mu’alim usul al fiqhi ‘inda ahli as sunnah wa al jama’ah, Muhammad bin Husain bin hasan al jaizani: 298
[2]  Usul al fiqhi al islami, DR. Wahbah Az zuhaili: 46
[3]  Usul al fiqhi al islami : 46
[4]  ibid
[5]  Al wajiz fi usul al fiqhi, DR. Wahbah Az zuhaili: 125
[6]  Usul al fiqhi al islami : 47
[7]  HR: Ahmad, asy syaikhoni dan ash habu as sunani dari ‘Ubadah bin Shomat
[8]  ibid
[9]  Al wajiz fi usuli al fiqhi : 125 - 126
[10]  Al wajiz : 127
[11]  Al wajiz: 127 - 128
[12]  Al wajiz : 128 - 129
[13]  Al wajiz 124 - 125