Senin, 20 Juli 2015

DAMPAK PERUMAHAN BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT


Akhir-akhir ini pembangunan perumahan semakin meningkat di setiap kota besar di Indonesia. Tidak saja di kota besar, di kota-kota yang berstatus sebagai kota ‘kecil’ pun pembangunan perumahan semakin meningkat, hingga meluas ke desa-desa yang berdekatan dengan perkotaan. Tentu saja meningkatnya pembangunan perumahan ini membawa dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitarnya. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa meningkatnya pembangunan perumahan juga ikut meningkatkan taraf hidup masyarakat, sebagian yang lain berpendapat bahwa meningkatnya pembangunan perumahan tidak membawa dampak apa-apa bagi masyarakat, sedangkan yang lain berpendapat bahwa meningkatnya pembangunan perumahan malah membawa dampak negative bagi perkembangan kehidupan masyarakat.
Penomena meningkatnya jumlah perumahan tentu saja tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal yang layak. Menteri Negara Perumahan Rakyat (MENPERA) memang belum bisa memberikan angka pasti kebutuhan rumah bagi masyarakat Insonesia, namun Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa angka perumahan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia adalah sekitar 13 juta unit rumah. Sekitar 22 %  penduduk Indonesia masih tinggal di rumah-rumah ilegal, rumah kontrakan, dan tinggal di rumah mertua. Angka kebutuhan yang begitu tinggi ini menjadi salah satu pemicu meningkatnya pembangunan perumahan.
Selain karena kebutuhan akan rumah yang layak yang begitu tinggi, kepentingan para pengusaha dan pebisnis juga menjadi pemicu tingginya tingkat pembangunan perumahan. Seringkali para pebisnis mengiklankan perumahan-perumahan yang menjadi ‘jualan’ mereka kepada kalangan yang sudah memiliki rumah. Kebanyakan pebisnis hanya berorientasi pada lakunya ‘jualan’ yang mereka jajakan, tidak peduli dampak apa yang akan terjadi di kemudian hari. Maka tidak heran jika banyak di perumahan-perumahan kita dapatkan rumah yang pemiliknya ada, namun penghuninya tiada.
Suburnya pertumbuhan perumahan tentunya akan membawa dampak bagi masyarakat yang berada di dalamnya dan masyarakat yang berada di sekitarnya. Hal ini tidak bisa dihindari, karena setiap kemajuan yang diciptakan manusia selalu memiliki dua sisi, sisi manfaat dan sisi mudharat.
Sedikit-banyak tentu perumahan membawa efek positif bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya, akan mendapatkan hunian yang tenang, bersih dan nyaman. Hak privasi masyarakat yang tinggal di dalamnnya lebih terjaga. Jika bisa dimanage sedikit saja, maka perumahan akan menciptakan masyarakat heterogen yang melengkapi satu dan yang lainnya. Suasana kondusif perumahan juga baik bagi tumbuh kembangnya anak-anak. Selain itu semua, tentu perumahan menawarkan keamanan yang lebih kepada masyarakat yang memilih untuk tinggal di dalamnya.
Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perumahan tentu juga akan mendapatkan manfaat. Dengan dibangunnya perumahan, tentu dagangan masyarakat yang dekat dengan perumahan akan semakin banyak peminat. Terbukanya lapangan kerja bagi sekitar perumahan, seperti menjadi Satpam perumahan, Pembantu rumah tangga, Tukang kebun dan yang lainnya. Selain itu, warga perumahan yang biasanya orang-orang terdidik akan menularkan pengetahuan-pengetahuan mereka kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perumahan. Maka terjadilah proses simbiosis mutualisme antara masyarakat yang tinggal di perumahan dan masyarakat yang tinggal di sekitar perumahan.
Di samping mafaat yang dibawa, perumahan juga berpotensi menimbulkan dampak-dampak negatif. Apakah dampak negatif ini berlaku kepada masyarakat yang tinggal di dalamnya, maupun masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Bagi masyarakat yang tinggal di dalam perumahan, kultur perumahan seringkali menjadikan masyarakat yang tinggal di dalamnya individualis. Sekat rumah berupa pagar yang tinggi membuat sebelahan rumah tidak saling kenal dan tegur sapa. Meningkatnya pembangunan perumahan juga membuka peluang orang kaya untuk memperbanyak aset atau menumpuk-numpuk harta, maka tidak asing kita mendengar ada orang kaya raya yang di setiap perumahan rumahnya ada, bukan Cuma satu bahkan beberapa. Budaya gotong royong dalam menjaga kebersihan dan keamanan seringkali menjadi tiada karena keberadaan tukang bersih-bersih dan Satpam. Perumahan juga berpotensi menimbulkan komplik antar masyarakat yang tinggal di dalamnya karena perumahan biasanya dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Dan tidak jarang pula komplik terjadi antara masyarakat yang tinggal di dalam perumahan dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Masyarakat yang tinggal di sekitar tidak akan luput dari dampak negatif yang ditimbulkan perumahan. Kehadiran perumahan dan masyarakatnya biasanya membawa kebudayaan moderen yang akhirnya menghilangkan sedikit demi sedikit kebudayaan daerah. Pergaulan masyarakat juga akan terpengaruh dengan pergaulan dan gaya hidup masyarakat yang tinggal di perumahan. Generasi muda yang biasanya sibuk membantu orantua bisa terpengaruh dengan gaya hidup anak perumahan yang praktis dan santai-santai. Serta menularnya sifat individualis masyarakat perumahan kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Penyalahgunaan bangunan juga rentan terjadi diperumahan, pagar tinggi akan menutup rapat aktivitas penghuninya sehingga membuka peluang terciptanya perselingkuhan, perzinahan dan bahkan pemakaian obat-obatan terlarang. Kondusifnya perumahan juga rentan memuluskan para pencuri dalam menjalankan aksinya.
Tentu saja meniadakan perumahan yang sudah menjamur kemana-mana adalah hal yang tidak mungkin. Lain daripada itu, perumahan nyatanya juga membawa banyak manfaat bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Maka mengkondisikan perumahan agar lebih banyak membawa manfaat dan minim dengan kemudharatan adalah jalan keluar yang bisa diperhitungkan.
Hal ini dapat dimulai dengan mengadakan peraturan oleh pemerintah untuk setiap perumahan. Peraturan tembok atau pagar rumah yang tidak boleh lebih dari satu setengah meter, memperketat perizinan tinggal di perumahan agar tidak terjadi penyalahgunaan, keaktifan Satpam perumahan dalam menjaga keamanan perumahan juga perlu ditingkatkan, karena seakan sudah menjadi rahasia umum bahwa Satpam kerjanya hanya mengeram di pos jaga. Menyediakan fasilitas ibadah yang memadai bagi masyarakat perumahan dan sekitarnya agar terjaga kondisi rohani. Menyediakan fasilitas olahraga untuk kegiatan olahraga bersama masyarakat perumahan dan masyarakat sekitar. Serta taman-taman bermain bagi anak-anak perumahan dan sekitar agar tercipta suasana rukun, nyaman dan aman. Mengadakan acara pada hari-hari besar dan hari-hari libur bagi masyarakat yang tinggal di perumahan dan masyarakat yang tinggal di sekitar perumahan juga bisa dijadikan ajang berbagi dan mengakrabkan. Tentunya tempat ibadah dan pasilitas olahraga yang disediakan dan acara-acara yang diadakan perumahan hendaknya mudah dijangkau dan diakses oleh masyarakat sekitar.
Maka peran pemerintah dalam hal ini cukup vital untuk menjadikan perumahan sebagai media kemajuan masyarakat. Pemerintah dapat mebuat peraturan-peraturan yang menguntungkan segala pihak dengan adanya perumahan. Selain pemerintah, masyarakat yang akan tinggal di perumahan juga berperan penting untuk merancang peraturan dan program kegiatan perumahan. Masyarakat di sekitar perumahan tentunya juga memiliki peranan untuk menjadikan perumahan yang ada di situ sebagai media yang membawa banyak kebaikan bukan malah sebaliknya.

Tidak ada kata tidak mungkin dalam menciptakan masyarakat yang sehat di setiap aspeknya. Karena kondisi yang sehat di setiap aspek kehidupan masyarakat akan menciptakan masyarakat yang hebat dan generasi yang hebat pula.

Kamis, 09 Juli 2015

Ayo i'tikaf


I’TIKAF
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Ransi Mardi al indragiri

·        I’tikaf, antara Rasulullah dan kita
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِيْ الوِتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Artinya: “Carilah oleh kalian malam lailatul qadr di malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adalah Rasulullah yang memberikan contoh kepada umat Islam untuk bersungguh-sungguh beribadah di sepuluh malam terakhir. Karena di sepuluh malam terakhir terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan atau 83 tahun kurang lebih. Secara spesifik Rasulullah memberikan bocoran bahwa malam lailatul qadr besar kemungkinan di malam-malam ganjir pada sepuluh malam terakhir. Namun harusnya hal ini tidak membuat kita hanya berI’tikaf pada malam-malam ganjil saja. Karena Rasulullah tidak pernah pilih-pilih, Rasulullah berI’tikaf di sepuluh malam terakhir, baik malam ganjil maupun malam genap. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Al Hasan al Bashri[1], “Aku beberapa kali mendapatkan malam lailatul qadr di malam ke-24.”[2] Artinya, malam lailatul qadr tidak tertutup kemungkinan jatuh pada malam-malam genap.
Para sahabat Nabi melanjutkan sunnah Rasulullah (i’tikaf) setelah beliau wafat. Sahabat-sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah seperti Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan lain-lainnya rela meninggalkan kesibukkan dunia demi mencari malam lailatul qadr di sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Begitu pula ulama-ulama setelahnya, mereka sangat takut jika terlalaikan oleh urusan dunia di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Maka tidak heran jika Imam Syafi’i (Ghaza, 150-204H) dalam salah satu riwayat sampai khatam Al Qur’an hingga 60 kali di satu bulan Ramadhan.
Namun apa yang dilakukan Rasulullah, para sahabat dan ulama terdahulu berbanding terbalik 180 derajat dengan kondisi umat Islam hari ini. Hari ini, umat Islam lebih disibukkan dengan perkara-perkara dunia di sepuluh malam terakhir. Ibu-ibu biasanya disibukkan dengan persiapan lebaran, mulai dari membuat kue, menghias rumah hingga mengatur jadwal dan memesan tiket perjalan liburan lebaran. Bapak-bapak biasanya tidak mau ketinggalan. Hal ini diperparah dengan banyaknya tokoh yang menawarkan discount belanja besar-besaran di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Tentu saja hal ini memicu banyak umat muslim untuk memanfaatkannya, hingga penuhlah toko-toko, supermarket dan Mall dan kosong lomponglah masjid-masjid. Tidak cukup disitu, budaya mudik (khususnya Indonesia) juga memperparah keadaan. Bus-bus, kereta api hingga penerbangan dipenuhi oleh para pemudik, namun ironinya lagi-lagi masjid sepi senyap. Sekolah-sekolah sampai Universitas pun kadang tidak bisa di ajak kompromi. Kadang libur diberikan ketika sudah dekat dengan sepuluh hari terakhir Ramadhan, sehingga para pelajar dan mahasiswa hingga para guru serta dosen lebih fokus mengurusi kepulangan ke kampung halaman daripada mendekatkan diri kepada Allah di sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Hal ini memang tidak mengherankan, mengingat Allah telah meberikan rumus mudah bagi kita. Yaitu, hanya sedikit yang bertakwa kepada Allah sedangkan yang banyaknya bermaksiat kepada Allah. Maka sedikit pulalah yang akan masuk ke dalam Surganya Allah sedangkan yang banyaknya akan merasakan panasnya Neraka Allah. Maka pilihlah apa-apa yang menyelamatkan kita dunia akhirat, yaitu tetap beribadah dimana banyak orang telah lalai dari mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena syafaat yang Allah dan Rassulullah berikan hanya bagi orang-orang yang dengan maksimal berusaha menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Imam az Zuhri berkata, “Mengherankan manusia ini, bagaimana bisa mereka meninggalkan i’tikaf sementara Rasulullah biasanya mengerjakan suatu amalan dan meninggalkannya (amalan sunnah), namun Rasulullah tidak pernah meninggalkan i’tikaf hingga beliau meninggal dunia.”[3]

·        Pengetahuan singkat tentang I’tikaf
I’tikaf adalah berdiam diri di Masjid dengan melakukan amalan-amalan yang sesuai dengan syariat Islam. Para ulama mebatasi i’tikaf dilakukan di masjid yang didirikan di dalamnya shalat Jum’at.
Hikmah i’tikaf diantaranya adalah mengobati hati dengan mendekatkan diri kepada Allah dan Memaksimalkan amal sholeh di waktu lapang. I’tikaf syar’i dimulai dari magrib  malam ke dua puluh satu hingga magrib malam terakhir Ramadhan. Namun para ulama menganjurkan untuk menyudahi i’tikaf hingga shalat Aidul Fitri. Namun umat muslim yang memiliki tanggungjawab yang tidak bisa ditinggalkan di siang hari, maka malam hari harusnya menjadi ‘pelampiasan’ untuk mengejar ketertinggalkan di siang hari.
Syarat-syarat i’tikaf:
1.     Islam
2.     Berakal
3.     Di masjid
4.     Berniat untuk i’tikaf
5.     Dalam kondisi puasa
6.     Suci dari jinabah, haidh dan nifas
7.     Idzin suami bagi wanita yang ingin beri’tikaf
Adab-adab i’tikaf:
1.     Menyibukkan diri dengan amal sholeh seperti shalat, tilawah Al Qur’an, dzikir, shalawat, mempelajari Al Qur’an, mempelajari Tafsir, mempelajari ilmu-ilmu syar’i, menghayati penciptaan langit, bumi, manuisa dan ciptaan-ciptaan Allah lainnya, mempelajari hadits Nabi, kisah para Nabi, kisah para sahabat dan kisah para ulama.
2.     Puasa
3.     Pada bulan Ramadhan
4.     Di masjid Jamik (masjid yang didirikan shalat Jum’at di dalamnya)
5.     I’tikaf hingga malam Aidul Fitri
6.     Meninggalkan apa-apa yang tidak ada manfaatnya berupa perkataan dan perbuatan.
Makruh-makruh i’tikaf:
1.     Menghadiri jual beli
2.     Berdagang
3.     Hanya diam ketika i’tikaf, karena i’tikaf diam adalah i’tikafnya ahlu kitab
Pembatal-pembatal i’tikaf:
1.     Keluar masjid tanpa udzur syar’i
2.     Jimak walau karena lupa
3.     Keluar mani karena proses sadar (bukan mimpi basah)
4.     Murtad
5.     Mabuk di siang hari
6.     Haidh dan nifas
7.     Makan dengan sengaja di siang hari
8.     Melakukan dosa-dosa besar, seperti ghibah, namimah, berdusta dll.
Referensi:
1.     Al Wajiz fii fiqhil islamiy. Wahbah az Zuhaili
2.     Al Jamii’ li ahkamil Qur’an. Imam al Qurthubi
3.     Aisaaru at Tafasiir. Abu Bakar Jabir al Jazaairi
4.     Fiqhu sunnah. Syaikh Sayyid Sabiq
5.     Al Mishbah al Muniir. Shofiyu Rahman al Mubarakfuri
6.     Majmu’ Syarhul Muhadzzab. Imam an Nawawi
7.     Puskafi.com



[1]  Seorang Tabiin yang lahir di zaman Umar bin Khahab. Beliau pernah belajar kepada sahabat-sahabat senior seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib dan lain-lain. Beliau juga termasuk satu dari tujuh ahli fiqih kota Madinah ketika itu.
[2]  Al Jaami’ li ahkamil Qur’an. Imam al Qurthubi: 22/534
[3]  Al Wajiiz fii fiqhil islamiy. Wahbah az Zuhaili: 1/348

Sabtu, 06 Juni 2015

Persiapan menyambut bulan suci Ramadhan



Ibadah puasa di bulan Ramadhan memiliki kedudukan tersendiri di sisi Allah. Allah akan memberikan pahala berlipat ganda sesuai dengan kualitas puasa yang dilakukan oleh seorang hamba. Semakin baik puasanya, maka akan semakin banyak pula ganjaran yang akan didapat dari Allah. Artinya, puasanya tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga.
Mungkin di antara kita ada yang telah berulang kali menyelsesaikan Ramadhan. 10 kali, 20 kali, 30 kali atau bahkan 50kali. Namun berapa banyak di antara kita yang dengan puasa Ramadhan, bertambah cinta dia kepada Allah, bertambah dekat dia kepada Allah dan bertambah takut dia dari adzab Allah. Tentu kita tidak menginginkan puasa Ramadhan kita berlalu sama dengan Ramadhan yang lalu-lalu. Jika Ramadhan yang wajib saja berlalu tanpa makna, bagaimana dengan puasa sunnah yang sedang kita coba.
Padahal Rasulullah SAW bersabda, “Berapa banyak orang yang melakukan puasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya melainkan lapar dan dahaga”.[1] Tentu ancaman ini berlaku untuk setiap umat Islam tanpa pengecualian. Maka, menjadi penting bagi setiap umat Islam untuk mengetahui peneybab puasa yang tidak bernilai di sisi Allah kecuali lapar dan dahaga saja.
Di antara penyebab puasa tidak bernilai di sisi Allah melainkan lapar dan dahaga saja adalah;
1.     Berpuasa tanpa mengetahui hukum-hukum seputar puasa
Puasa seorang hamba akan maksimal nilainya di sisi Allah bilamana sesuai dengan tuntutan yang Allah berikan. Namun puasa juga bisa tidak bernilai di sisi Allah ketika mengabaikan tuntutan yang Allah berikan. Tuntutan-tuntutan inilah yang disebut hukum puasa. Berilmu sebelum beramal adalah cara terbaik agar maksimal hasil ibadah yang dikerjakan. Banyak cara mengetahui hukum-hukum sekitar puasa, bisa dengan membaca buku, mendengarkan kajian atau bertanya kepada ahlinya. Sebagaimana firman Allah, “Maka bertanyalah kamu kepada ahluz dzikir jika kamu tidak mengetahui”.[2] Sahabat Ibnu Abbas menafsirkan ahluz dzikir sebagai ulama, ahlul Qur’an dan ahlul ilmu. Ulama tafsir juga menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya berilmu sebelum beramal. Insyaallah buku mini ini akan memberikan panduan ringkas agar puasa penuh makna.
2.     Berpuasa karena ikut-ikutan
Kewajiban puasa di bulan Ramadhan sudah umum diketahui masyarakat luas. Ketenaran puasa di bulan Ramadhan kadang tidak jarang membuat banyak kaum muslimin dan muslimah yang berpuasa karena ikut-ikutan. Tentu puasa tidak akan bernilai di sisi Allah ketika dilakukan karena ikut-ikutan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhamad SAW, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan balasan dari Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”.[3]
3.     Berpuasa tapi meninggalkan shalat
Banyak kaum muslimin dan muslimah yang melakukan puasa dengan penuh semangat. Ini bukanlah perkara yang dilarang. Namun tidak sedikit di antara kaum muslimin dan muslimah yang semangat melakukan puasa Ramadhan tetapi gemar meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu). Padahal Rasulullah memberikan syarat agar puasanya tetap bernilai di sisi Allah, yaitu meninggalkan dosa-dosa besar. Di antara dosa-dosa besar yang boiasa dilakukan kaum muslimin dan muslimah adalah meninggalkan shlat. Rasulullah SAW bersabda, “Antara Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa apabila dosa-dosa besar dijauhi”.[4]
Selain itu, shalat juga merupakan tiang agama. Bilamana baik, kokoh dan mantap tiangnya, maka bangunan yang berada di atasnya berupa atap juga akan kokoh. Tidak mudah ambruk diterjang badai. Namun bilamana tiangnya kropos, maka bangunan yang berada di atasnya akan mudah jatuh dan bangunan pun hancur. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW, “Pokok segala perkara adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad”.[5] Serta, shalat adalah amalan pertama yang nanti dihisab oleh Allah pada hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amalan yang paling pertama yang akan dihisab atas seorang hamba dari amalan-amalannya adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka sungguh ia telah bahagia dan berhasil. Namun jika shalatnya rusak, maka sungguh ia telah binasa dan merugi”.[6]
Seandainya amalan manusia tiu ada sepuluh, maka shalat ngantri di urutan pertama. Puasa, haji, zakat, umrah, sedekah, baca Al Qur’an, dzikir, shalawat dan lainnya ngantri di belakang shalat. Jik shalat sebagai pengantri pertama baik, tidak ditinggalkan, maka peluang amalan lain yang ngantri di belakang shalat lebih besar untuk menjadi baik pula. Namun jika shalat sebagai pengantri pertama rusak, sering ditinggalkan, maka amalan-amalan lain yang ngantri di belakang shalat kemungkinan besar juga akan ikut rusak. Tidak meninggalkan shalat lima waktu adalah pilihan terbaik untuk menjadi penghuni surga-Nya Allah.
4.     Berpuasa tapi tidak menjaga lisan
Ketika puasa seringkali kaum muslimin dan muslimah menghabiskan waktu ngerumpi bersama teman-temannya. Mungkin hanya sekedar iseng, coba-coba cari pergaulan baru, ikut-ikutan dan mungkin memang sudah menjadi hobi. Kadang tanpa sadar dalam pembicaraan yang begitu hangat terucap dan terbahas perkara-perkara yang tidak seharusnya diucapkan.
Ada beberapa kejahatan lisan yang membuat puasa menjadi tidak bernilai di sisi Allah. Di antaranya adalah;
1.     Ghibah
Ghibah adalah membicarakan aib saudara yang benar adanya kepada orang lain. Rasulullah SAW pernah ditanya tentang ghibah, maka beliau bersabda, “Engkau menyebutkan tentang saudaramu dengan apa-apa yang dia benci”, lalu bagaimana jika yang kita bicarakan tersebut memang benar-benar ada pada saudara kita. Rasululla bersabda lagi, “Jika memang benar ada padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah meng-ghibahnya, dan apabila tidak ada padanya maka engkau telah berdusta”.[7]
Bahkan di dalam Al Qur’an Allah menyamakan orang yang suka meng-ghibah saudaranya dengan memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Sebagaimana firman Allah, “Janganlah kalian saling memata-matai dan jangan meng-ghibahi antara satu dengan yang lain. Sukakah kalian memakan daging saudaranya tentu kalian benci”.[8]
Imam al Ghazali menuturkan bahwa ghibah itu dimulai dari perbuatan yang namanya buruk sangka (suu’uz zhon), setelah itu akan timbul yang namanya tajassus (mencari-cari aib saudara) hingga ghibah pun menjadi tidak bisa untuk dihindarkan. Masih menurut beliau, bahwa orang yang berghibah jika mempunyai kebaikan, maka kebaikannya akan mengalir kepada orang yang dighibahi. Namun jika tidak memiliki kebaikan, maka dosa-dosa orang yang dighibahi mengalir kepada orang yang berghibah. Bagaimana dengan orang yang ketiga yang hanya mendengar saja, kata beliau sama saja dosanya.
2.     Fitnah
Fitnah adalah menceritakan aib saudara sendiri yang tidak benar adanya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Engkau menyebutkan tentang saudaramu dengan apa-apa yang dia benci”, lalu bagaimana jika yang kita bicarakan tersebut memang benar-benar ada pada saudara kita. Rasululla bersabda lagi, “Jika memang benar ada padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah meng-ghibahnya, dan apabila tidak ada padanya maka engkau telah berdusta”.[9]
3.     Namimah
Namimah adalah mengadu domba antara dua orang atau lebih. Namimah menimbulkan efek yang jauh lebih merusak, karena akan memutuskan tali ikatan yang telah Allah ikat. Rasulullah mengancam para pelaku namimah, “Tidak akan masuk sorga orang mengadu domba”.[10]
Lisan memang tidak bertulang, lebih tajam daripada pedang. Menjaga lisan bukanlah perkara yang mudah, namun juga bukan perkara yang mustahil. Berapa banyak Allah menjerumuskan orang-orang kedalam neraka lantaran karena lisan yang tidak dijaga.
5.     Berpuasa tapi melakukan perbuatan yang mengundang syahwat dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya
Melakukan perbuatan yang mengundang syahwat akan melalaikan kita dari Allah, bahkan bisa menjerumuskan kita ke jurang neraka. Puasa yang berfungsi sebagai ibadah dan benteng bagi seorang muslim dan muslimah dari perbuatan keji harusnya mampu menghindarkan dirinya dari perbuatan dosa. Rasulullah SAW bersabda, “Puasa adalah sebagai perisai dari kemaksiatan serta dari neraka”.[11]
Ramadhan harusnya juga membuat kita tambah sadar akan apa-apa yang bermanfaat bagi akhirat dan dunia kita. Karena Ramdhan yang digunakan untuk malas-malasan akan benilai sia-sia.



[1] HR. Ahmad
[2]  QS. An Nahl: 43
[3]  HR. Bukhari dan Muslim
[4]  HR. Muslim
[5]  HR. Thirmizi
[6]  HR. Thirmizi dan an nasa’i
[7]  HR. Muslim
[8]  QS. Al Hujurat: 12
[9]  HR. Muslim
[10]  HR. Bukhari
[11]  HR. Bukhari