Minggu, 17 Mei 2015

MEMANDIKAN JENAZAH


·        Hukum memandikan jenazah
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum memandikan jenazah. Jumhur ulama (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa memandikan jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah yang didasarkan dari sabda Nabi SAW “Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, lalu kafanilah dengan dua baju”[1]. Sedangkan sekolompok ulama yang lain berpendapat bahwa memandikan jenazah hukumnya adalah sunnah atas kifaayah (namun pendapat ini lemah).
·        Orang yang memandikan jenazah
Syarat orang yang memandikan jenazah yang disepakati ada tiga:
1.     Islam, tidak sah jika yang memandikan jenazah adalah orang kafir, karena memandikan jenazah adalah perkara ibadah.
2.     Niat, ini didasarkan pada hadits Nabi SAW “Setiap amalan itu tergantung niatnya”[2]. Sebagian ulama berpendapat bahwa niatnya harus diucapkan.
3.     Berakal, dan tidak sah jika yang memandikan jenazah adalah orang yang tidak berakal, apakah itu gila, pingsan, anak-anak dan lain sejenisnya.
Kemudian para ulama juga bersepakat tentang pensyaratan mayit laki-laki dimandikan oleh laki-laki dan mayit perempuan dimandikan oleh perenpuan, hanya saja mazhab Syafi’iyah membolehkan laki-laki memandikan mayit perempuan yang umurnya dibawah tiga tahun, begitu juga sebaliknya. Kemudian jumhur juga bersepakat tentang bolehnya seorang suami memandikan mayit istrinya dan sebaliknya[3]. Hingga, jika ada seorang wanita yang bukan mahrom mayit laki-laki dan seorang lelaki kafir, maka mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa lelaki kafir lebih berhak memandikan simayit laki-laki tadi.
Kemudian para ulama juga mensyaratkan yang memandikan jenazah adalah orang yang tsiqoh (bertaqwa) dan bisa dipercaya. Ini didasarkan sabda Nabi SAW “Janganlah mayit di antara kalian dimandikan kecuali oleh orang yang terpercaya”[4]. Karena ditakutkan dia akan menceritakan aib simayit nantinya. Kemudian disyaratkan juga orang yang mengerti tata cara memandikan jenazah serta sebagian ulama yang lain juga melarang orang yang membunuh mayit untuk memandikan orang yang telah dibunuhnya.

·        Larangan dalam memandikan jenazah
Ada beberapa perkara yang dilarang dalam prosesi pemandian jenazah:
1.     Hendaknya mayit dimandikan di tempat yang tidak terlihat oleh banyak atau tempat yang tertutup dari penglihatan orang banyak.
2.     Tidak memandikan mayit langsung di bawah langit (prosesi pemandian jenazah tidak di tempat yang beratap).
3.     Hendakanya orang yang tidak berkepentingan dalam prosesi pemandian tidak mendatangi tempat pemandian jenazah.
4.     Tidak meminta imbalan atau upah dari memandikan jenazah, ini adalah pendapat jumhur ulama. Hanya saja mazhab Hanafiah membolehkan meminta upah setelah memandikan jenazah.
5.     Tidak menggunakan air panas atau air dingin dalam prosesi pemandian jenazah. Ditakutkan merusak keadaan jenazah.
6.     Hendaknya orang yang memandikan jenazah tidak menyeentuh aurat jenazah kecuali dengan menggunakan alas atau sarung tangan. Dan lebih baik lagi memandikan jenazah dengan menggunakan alas tangan agar tidak terkontaminasi langung.
7.     Tidak membuka aurat jenazah.
8.     Tidak menceritakan aib simayit yang dilihat ketika memandikannya.

·        Anjuran dalam memandikan jenazah
Ada beberapa perkara yang dianjurkan dalam prosesi memandikan jenazah:
1.     Yang memandikan mayit hendaklah kerabat terdekat dari simayit, jika tidak ada, maka orang laki-laki. Jika seorang mayit cuma ada disana seorang wanita muslim dan lak-laki kafir, maka laki-laki kafir lebih didahulukan untuk memandikan mayit.
2.     Dimulai dengan membaca basmalah (bismillaahir rohmaanir rohiim)
3.     Dimulai memandikan mayit dari anggota tubuh bagian wudhu
4.     Dimulai dari bagian anggota tubuh bagian kanan
5.     Membasuh atau menyiram keseluruh tubuh mayit
6.     Menutup jumlah siraman air kepada simayit dengan jumlah bilangan ganjil, 3, 5, 7 dan seterusnya
7.     Memandikan mayit didahulukan dengan air daun bidara, atau air kapur barus.
8.     Memotong kumis dan kuku yang telah panjang. Walaupun disana banyak ulama yang berbeda pendapat antara yang mensunahkan atau yang melarang bahkan. Tetapi pendapat yang kuat adalah lebih utama untuk memotong kumis dan kuku yang sudah panjang
9.     Menyisir rambut dan jenggotnya
10.            Mewudhukan mayit setelah dimandikan
11.            Memberikan wewangian di kepala, jenggot dan tempat-tempat sujud dari anggota bagian tubuh.
12.            Sebagian ulama berpendapat dianjurkan untuk tidak membuka pakaian simayit ketika dimandikan. Imam Syafi’I adalah salah seorang ulama yang berpendapat seperti ini. tetapi imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mayit dilepas pakaiannya ketika dimandikan. Imam Malik juga sependapat dalam masalah ini dengan Abu Hanifah.

·        Perlengkapan memandikan jenazah
1.     Air mutlak atau air yang suci dan bisa digunakan untuk mensucikan.
2.     Ember atau galon sebagai tempat atau wadah air.
3.     Gayung, sabun, dan handuk.
4.     Daun bidara atau kapur barus.
5.     Wangi-wangian
6.     Kain basahan bagi si mayit
7.     Sarung tangan
8.     Tempat yang tertutup dari pandangan orang banyak dan tertutup dari langit (beratapa).
9.     Kapas secukupnya.
10.       Tempat pemandian yang tinggi dan bantalan untuk kepala mayit.

·        Tata cara memandikan jenazah
1.     Mempersiapkan seluruh persiapan yang dibutukan untuk memandikan jenazah.
2.     Memulai dengan berniat. Dan dianjurkan untuk melafazkan niat atau mengucapkan niat. Adapaun lapaz niat yang umun di Indonesia adalah,
نَوَيْتُ لِغُسْلِ هَذَا المَيْتِ فَرْضُ كِفَايَةٍ لِلهِ تَعَالَى
Latinnya: “Nawaitu lighusli haadzal mayti fardhu kifaayatin lillaahi ta’alaa”.
Artinya: “Aku berniat untuk memandikan jenazah ini fardhu kifayah karena Allah ta’alaa”.
3.     Mengucapkan lafaz basamalah “Bismillaahir rahmaanir rahiim” untuk memulai prosesi pemandian jenazah.
4.     Memulai memandikan jenazah dengan membasuh bagian tubuh yang biasa dibasuh ketika berwudhu. Namun hanya mendahulukan bagian wudhu bukan berwudhu.
5.     Membasuh anggota tubuh dengan mendahulukan anggota tubuh bagian sebelah kanan.
6.     Menyiram seluruh tubuh.
7.     Membersihkan lubang-lubang, seperti lubang hidung dan lubang telinga. Kemudian membersihkan sela-sela, seperti sela-sela jari-jemari. Membersihkan mulut, menyelah-nyelah jenggot, dan setiap anggota bagian tubuh yang biasanya sulit dibersihkan.
8.     Memotong kuku dan merapikan jenggtonya.
9.     Membersihkan dubur dan kemaluan. Hendaknya bagian perut ditekan-tekan agar kotoran yang tersisa keluar. Jika  cairan atau kotoran keluar secara terus-menerus, maka disumbat dengan menggunakan kapas.
10.                        Menyiram seluruh anggota bagian tubuh secara merata.
11.                        Mewudhukan jenazah
12.                        Mengeringkan air pada jenazah dengan menggunakan handuk.
13.                        Ingat, setiap proses pemandian jenazah ini tanpa membuka aurat dan dianjurkan menggunakan sarung tangan.

·        Orang syahid (orang yang gugur atau meninggal) di medan perang
Untuk orang islam yang syahid (gugur di medan perang), ulama berbeda pendapat tentang hukum di dalamnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang syahid di medan perang tidak dimandikan, tidak dikafankan, dan tidak dishalatkan. Dia dikuburkan dengan apa yang dia pakai. Mereka berdalil dengan perbuatan Rasulullah SAW ketika selesai perang uhud dimana banyak dari kalangan muslimin yang terbunuh, maka Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk langsung menguburkan para syuhada (orang muslim yang gugur di medan perang) itu. Tetapi imam Abu Hanifah berpendapat bolehnya orang yang syahid di medan perang untuk dishalatkan. Sedangkan Al Hasan al Bashri dan Ibnu Musayyib (ulama Tabiin) berpendapat bolehnya dishalatkan orang yang syahid di medan perang. Mereka berhujjah bahwa ketika perang uhud itu keadaan sangat mendesak. Disini kami pemakalah menganalisa tidak adanya pertentangan di antara para ulama dalam masalah ini. Nabi SAW ketika memerintahkan segera menguburkan para syuhada pun tidak melarang untuk memandikan ataupun menshalatkan para syuhada.

·        Janin yang keguguran
Jumhur ulama berpendapat bahwa janin yang keguguran setelah terlihat tanda-tanda kehidupan padanya maka wajib hukumnya untuk dimandikan, dikafankan, dishalatkan dan dikuburkan. Sedangkan Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal berpendapat tidak dimandikan jika umur janinnya dibawah empat bulan, hanya saja Imam Ahmad membolehkan untuk dishalatkan jika umur janinnya sudak melebihi empat bulan.
·        Suami istri yang jatuh thalaq dan hukum memandikan orang kafir
Jumhur ulama bersepakat keharaman suami istri yang telah jatuh thalaq ba’in untuk memandikan jika salah satunya meninggal. Kemudian jumhur ulama, diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan para sahabatnya membolehkan untuk memandikan mayit salah satu dari suami istri yang telah meninggal jika thalaq yang jatuh adalah thalaq raj’iyah. Tetapi Imam Syafi’I tidak membolehkan suami istri yang jatuh thalaq raj’iya untuk memandikan jikan salah satunya meinggal dunia. ,mereka beralasan bahwa hubungan suami istri itu terputus sejak meninggalnya manusia.
Kemudian para ulama berbeda pendapat dalam masalah memandikan mayit yang bukan orang islam. imam Malik berpendapat bahwa anak orang kafir tidak dimandikan dan tidak dikuburkan apalagi dishalatkan, tentu lebih tidak lagi. Kemudian Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Sufyan Ats tsauri membolehkan memandikan kerabat dari golongan musyrik jika meninggal dunia. Tetapi Ibnu Mandzur berpendapat bahwa memandikan mayit orang musyrik bukanlah sunnah yang harus diikuti.
·        Mandinya orang yang memandikan jenazah
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa salah satu mandi yang diwajibkan adalah mandinya orang yang memandikan jenazah. Tetapi para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang memandikan jenazah maka wajib baginya untuk mandi. Tetapi sebagian lagi berpendapat tidak wajibnya mandi bagi orang yang memandikan jenazah sebagaimana hadits dari Asma’ ketika Abu Bakar As shiddiq meninggal dunia.



[1] HR: Muttafaq ‘alaihi
[2] HR: Muttafaq ‘alaihi
[3]  Kecuali mazhab Hanafiah yang melarang laki-laki memandikan mayit istrinya
[4] HR: Ibnu Majah