Minggu, 23 Oktober 2016

LAGI-LAGI AL MAIDAH: 51

 

Oleh: Ransi Mardi al indragiri

Sembari menunggu proses hukum terhadap Ahok yang meninstakan Al Qur’an surat al Maidah ayat ke-51 (kami berpegang pada fatwa MUI), baru-baru ini terkhusus umat Islam dibuat heboh oleh berbedanya terjemahan Al Qur’an surat al Maidah ayat ke-51 versi depag. Beragam tanggapan muncul disana-sini menanggapi hal ini. Jika kita lebih bijak memahami ayat ini (Al Maidah ayat ke-51), maka kita akan mendapatkan sebuah formula yang sangat sempurna di dalam syariat (aturan) Islam.

Memahami Al Qur’an tidak sama dengan memahami buku biasa. Islam melarang umatnya untuk memahami Al Qur’an dengan akal sendiri tanpa melandaskan kepada tafsir. (Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang berkata atau berpendapat tentang Al Qur’an dengan akalnya atau tanpa ilmu (tafsir), maka wajib baginya  untuk memesan satu tempat duduk di Neraka.” HR. Tirmidzi, Abu Daud dan an Nasa’i) Tafsir sendiri adalah penjelasan Al Qur’an yang didapat dari Al Qur’an itu sendiri (tafsir ayat dengan ayat), dari Hadits Rasulullah SAW, dari pemahaman para sahabat Nabi (yang merupakan murid langsung dari Nabi Muhammad SAW), dari para Tabi’in dan ulama setelah mereka.

Di Al Qur’an saja, ayat yang senada dengan surat al Maidah ayat ke-51 sangat banyak. Kita lihat saja surat Ali Imran ayat ke-28 dan 149-150, surat an Nisa’ ayat ke-138-139, 141 dan 144, surat al Maidah ayat ke-57 dan 80-81, surat at Taubah ayat ke-23, surat al Mumtahanah ayat ke-1 dan surat al Mujadalah ayat ke-14-15 dan 22.

Ayat-ayat yang banyak diatas dipertegas oleh tafsir para ulama yang didasarkan kepada Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW, pandangan para Sahabat dan para Tabiin. Jika boleh membuat interval, maka maksud ayat ini yang paling ringan adalah melarang umat Islam untuk memberikan kecintaan atau bersahabat (kawan karib) kepada orang kafir melebihi kecintaan atau persahabatan kepada sesama muslim (Tafsir al Alusi: 3/324). Menggunakan ayat ini Umar bin Khatab (sahabat yang dijamin Nabi masuk surga) pernah memarahi Abu Musa al ‘Asy’ari karena mengangkat dan mempercayai seorang kafir (Nashrani) sebagai seorang juru tulis (Tafsir al Mishbahul munir: 351).

Jika lebih cinta dan lebih mempercayai orang kafir daripada sesama muslim saja dilarang apalagi menjadikannya pemimpin. Logika mana yang tidak memahi bagaimana seorang Umar bin Khattab yang merupakan seorang pemimpin tertinggi (Khalifah) ketika itu memarahi bawahannya yang mengangkat seorang kafir HANYA menjadi juru tulis?

INGAT! Bersahabat (kawan karib) atau lebih mencintai tidak berarti menyerahkan urusan, INGAT! Menjadikan juru tulis seperti kisah diatas tidak berarti menyerahkan semua urusan melaikan hanya sebagian saja urusan yang dipercayakan. Sedangkan menjadikan pemimpin berarti menyerahkan dan mempercayakan seluruh urusan.

Saudaraku seiman, jika boleh berbaik sangka, di satu sisi terjemahan baru versi depag tidak salah. Ya, karena MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI SAHABAT KARIB SAJA TIDAK BOLEH APALAGI MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGI PEMIMPIN. Sebagaimana dilarangnya mendekati zina, tentu melakukan zina lebih dilarang. Hanya saja terjemahan sepotong begitu kadang mengelabuhi banyak orang awam yang tidak mengerti tentang tafsir Al Qur’an.

Mudah-mudahan yang sedikit dan yang banyak kekurangan ini bermanfaat untuk kita semua. Amin...

(Disari dari tafsir al Jami’ li ahkamil Qur’an yang ditulis oleh Imam al Qurthubi, tafsir ad Daar al Mantsur fii Tafsir bil Ma’tsur yang ditulis oleh Imam as Suyuthi, tafsir al Mishbahul munir yang ditulis oleh Syaikh Shafiyurahman al Mubarakfuri, tafsir Ayatul Ahkam yang ditulis oleh Muhammad Ali as Shobuni, tafsir Jami’ul Bayan fii Ta’wil Qur’an yang ditulis oleh Imam at Thobari, tafsir Ruhul Ma’ani yang ditulis oleh al Alusi, Aisaarut Tafasir yang ditulis oleh Abu Bakar al Jaza’iri, tafsir al Azhar yang ditulis oleh Prof. DR. Buya Hamka dan tafsir al muyassar yang ditulis oleh Dr. Hikmat Basyir et. al)