Oleh:
Ransi Mardi al indragiri
Sembari
menunggu proses hukum terhadap Ahok yang meninstakan Al Qur’an surat al Maidah
ayat ke-51 (kami berpegang pada fatwa MUI), baru-baru ini terkhusus umat Islam
dibuat heboh oleh berbedanya terjemahan Al Qur’an surat al Maidah ayat ke-51
versi depag. Beragam tanggapan muncul disana-sini menanggapi hal ini. Jika kita
lebih bijak memahami ayat ini (Al Maidah ayat ke-51), maka kita akan
mendapatkan sebuah formula yang sangat sempurna di dalam syariat (aturan)
Islam.
Memahami
Al Qur’an tidak sama dengan memahami buku biasa. Islam melarang umatnya untuk
memahami Al Qur’an dengan akal sendiri tanpa melandaskan kepada tafsir. (Nabi
Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang berkata atau berpendapat tentang Al
Qur’an dengan akalnya atau tanpa ilmu (tafsir), maka wajib baginya untuk memesan satu tempat duduk di Neraka.” HR.
Tirmidzi, Abu Daud dan an Nasa’i) Tafsir sendiri adalah penjelasan Al Qur’an
yang didapat dari Al Qur’an itu sendiri (tafsir ayat dengan ayat), dari Hadits
Rasulullah SAW, dari pemahaman para sahabat Nabi (yang merupakan murid langsung
dari Nabi Muhammad SAW), dari para Tabi’in dan ulama setelah mereka.
Di Al
Qur’an saja, ayat yang senada dengan surat al Maidah ayat ke-51 sangat banyak.
Kita lihat saja surat Ali Imran ayat ke-28 dan 149-150, surat an Nisa’ ayat
ke-138-139, 141 dan 144, surat al Maidah ayat ke-57 dan 80-81, surat at Taubah
ayat ke-23, surat al Mumtahanah ayat ke-1 dan surat al Mujadalah ayat ke-14-15
dan 22.
Ayat-ayat
yang banyak diatas dipertegas oleh tafsir para ulama yang didasarkan kepada Al
Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW, pandangan para Sahabat dan para Tabiin. Jika
boleh membuat interval, maka maksud ayat ini yang paling ringan adalah melarang
umat Islam untuk memberikan kecintaan atau bersahabat (kawan karib) kepada
orang kafir melebihi kecintaan atau persahabatan kepada sesama muslim (Tafsir
al Alusi: 3/324). Menggunakan ayat ini Umar bin Khatab (sahabat yang dijamin
Nabi masuk surga) pernah memarahi Abu Musa al ‘Asy’ari karena mengangkat dan
mempercayai seorang kafir (Nashrani) sebagai seorang juru tulis (Tafsir al
Mishbahul munir: 351).
Jika
lebih cinta dan lebih mempercayai orang kafir daripada sesama muslim saja
dilarang apalagi menjadikannya pemimpin. Logika mana yang tidak memahi
bagaimana seorang Umar bin Khattab yang merupakan seorang pemimpin tertinggi
(Khalifah) ketika itu memarahi bawahannya yang mengangkat seorang kafir HANYA
menjadi juru tulis?
INGAT! Bersahabat
(kawan karib) atau lebih mencintai tidak berarti menyerahkan urusan, INGAT!
Menjadikan juru tulis seperti kisah diatas tidak berarti menyerahkan semua
urusan melaikan hanya sebagian saja urusan yang dipercayakan. Sedangkan
menjadikan pemimpin berarti menyerahkan dan mempercayakan seluruh urusan.
Saudaraku
seiman, jika boleh berbaik sangka, di satu sisi terjemahan baru versi depag
tidak salah. Ya, karena MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI SAHABAT KARIB SAJA
TIDAK BOLEH APALAGI MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGI PEMIMPIN. Sebagaimana
dilarangnya mendekati zina, tentu melakukan zina lebih dilarang. Hanya saja
terjemahan sepotong begitu kadang mengelabuhi banyak orang awam yang tidak
mengerti tentang tafsir Al Qur’an.
Mudah-mudahan
yang sedikit dan yang banyak kekurangan ini bermanfaat untuk kita semua. Amin...
(Disari dari
tafsir al Jami’ li ahkamil Qur’an yang ditulis oleh Imam al Qurthubi,
tafsir ad Daar al Mantsur fii Tafsir bil Ma’tsur yang ditulis oleh Imam
as Suyuthi, tafsir al Mishbahul munir yang ditulis oleh Syaikh
Shafiyurahman al Mubarakfuri, tafsir Ayatul Ahkam yang ditulis oleh
Muhammad Ali as Shobuni, tafsir Jami’ul Bayan fii Ta’wil Qur’an yang
ditulis oleh Imam at Thobari, tafsir Ruhul Ma’ani yang ditulis oleh al
Alusi, Aisaarut Tafasir yang ditulis oleh Abu Bakar al Jaza’iri, tafsir al
Azhar yang ditulis oleh Prof. DR. Buya Hamka dan tafsir al muyassar
yang ditulis oleh Dr. Hikmat Basyir et. al)