Sabtu, 10 Maret 2012


 

اليقين لا يزول بالشك

SUATU KEYAKINAN ITU TIDAK BISA DIHILANGKAN DENGAN KERAGUAN

Oleh : Azzam al Indragiri / Ransi Mardi
Qo’idah ini merupakan asas atau pondasi dari mazhab imam abu hanifah dan imam al karkhi.
Dalil dari qo’idah ini adalah:
1.       Dalil dari Al Qur’an al karim
Firman Allah SWT,
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. ( Qs: Yunus 36 )
2.       Dalil dari As sunnah
Rasulullah SAW bersabda dari hadits abu hurairoh ra:
Apbila salah seorang dari kalian mendapatkan ada yang tidak beres dari perutnya, lalu rancu baginya perkara itu, keuar atau tidak? Maka janganlah dia keluar dari masjid hingga ia mendapatkan ( mencium ) bau atau ( mendengar ) suaranya. ( HR, Muslim : kitab alwudhu’ ).
Hadits dari ‘abdullah bin zaid ra:
Ada seorang laki – laki megadukan kepada Rasulullah SAW bahwa dia mendapatkan sesuatu didalam shalatnya, Rasulullah SAW bersabda “ dia tidak perlu membatalkan shalatnya hingga ia mendengar suara dan mencim baunya”. ( HR: Muslim ).
Dan lain – lainnya.
3.       Dalil ‘aqliyun
Sesunnguhnya suatu keyakinan itu lebih kuat dari keragu – raguan karena dalam keyakinan itu terdapat hukum qoth’i yang lazim maka tidak bisa diruntuhkan suatu keyakinan itu dengan keragu – raguan[1].

Makna Qo’idah
Ø  Secara bahasa
Yakin adalah ketenangan atau ketentraman hati terhadap kebenaran sesuatu.
Ragu adalah keragu – raguan yang mutlaq, dan menurut fuqoha’ ragu disini adalah ragu dalam mengerjakan sesuatu antara mengerjakan atau meninggalkannya.
Sedangkan ragu menurut istilah usuliyin adalah berhenti atau berada ditengah – tengah dari dua ujung sesuatu.

Urutan antara yakin dan ragu:
1.       Yakin   : keyakinan hati yang disandarkan pada dalil qoth’iy
2.       I’tiqod : keyakinan hati yang tidak disndarkan pada dalil qoth’iy
3.       Zhon   : perbandingan dua perkara yang mana salah satunya lebih kuat dari yang lain
4.       Syak(ragu) : perbandingan dua perkara yang tidak ada perbedaan sama sekali antara keduanya.
5.       Al wahm   : perbandingan dua perkara yang mana salah satunya lebh lemah dari yang lain.
Contoh qo’idah
1.       Apabila seseorang berhutang dan kita ragu apakah dia telah membayarnya atau belum, maka hutang ini menjadi batal ( rusak ).
2.       Apabila terjadi pernikahan antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan dengan ‘aqad yang shohih, kemudian didapatkan keraguan dalam urusan tholaknya maka pernikahan ini rusak ( akadnya ).
Qo’idah – Qo’idah yang mengiringi Qo’idah ini:
1)     الأصل بقاء ما كان على ما كان
Sesuatu itu sesuai atau ditetapkan dengan asalnya
Makana :
Sesungguhnya apa – apa yang telah ditetapkan terhadap sesuatu dizaman yang telah lalu maka dia tetap dan tidak berubah jika belum ditemukan dalil yang menyelisihinya.
Qo’dah ini merupakan dalil istishhab.
Istishhab secara bahasa adalah melazimi sesuatu dan meniadakan perpecahan dan secara istilah adalah tempat suatu pembahasan atau melazimi suatu huum yag ditunjukkan oleh syari’at atas ketetapan dan keberlangsungannya ( menurut ahli fikih ).
Contoh :
Barangsiapa yang meyaini ata mengetahui kalau dia dalam keadaan suci( sudah bersuci ) dan ragu dalam suatu hadats maka dia suci, dan apabila dia meykini atau mengetahui kalau dia berhadats ( belum bersuci ) atau dalam keadaan yang tidak suci dan ragu dia suci apa tidak maka dia berhadats atau tidak suci.

2)     الأصل براءة الذمة
Sesuatu itu terbebas dari tanggungan.
Dalil qo’idah ini adalah:
Rasulullah SAW bersabda : “ bukti itu bagi orang yang menuduh dan sumpah bagi orang yang dituduh” ( HR: bukhory dan muslim dan selainnya ).
Makna lughowi, az zimmah bermakna perjanjian atau ikatan dan keamanan.
Dan menurut ahli fiqhi zimmah itu adalah jiwa atau zat yang terikat dengan perjanjian.
Dan secara fiqhiyah qo’idah ini bermakna: suatu qo’dah yang menerangkan bahwa sesungguhnya manusia itu terbebas dari tanggungan, dari kewajiban terhadap sesuatu ataupun melaziminya. Dan tesibukan dengan tanggungan merupakan penyimpangan dari asli atau asalnya.

3)     ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
Apa – apa yang telah ditetapkan dengan keyakinan tidak akan bisa dirubah atau dihilangkan kecuali dengan keyakinan.
Qo’idah ini merupakan penjelasan untuk qo;idah kubro, karena yakin jika tidak dihilangkan dengan keraguan maka dia ( keyakinan ) hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan yang semisalnya saja.
Contoh:
Jika seseorang ragu dalam sujud atau rukuknya maka dia harus mengulanginya, dan jika setelahnya (sholat) maka tidak mengulanginya. Dan jika seseorang ragu dia sholat sudah tiga ata empat raka’at, maka dia harus mengambil yang empat.
Dan jika seseorang ragu bahwasanya dia telah mentholak sekali atau lebih banyak maka baginya ( tholak ) yang paling kecil, karena lebih meyakinkan.

4)     الأصل في الصفات – أو الأمور العارضة العدم
Asal dari suatu sifat atau perkara itu meniadakan sifat kebaruan.
Makna Qo’idah: sesungguhnya qo’idah ini berada pada perselisihan dalam menetapkan sifat yang baru dan meniadakannya,
Contoh:
Jika seseorang membeli perwalaian dengan kredit atau hutang, kemudian pemilik perwalian  mengatakan; saya ingin kamu bayar tunai, dan pembeli berkata; saya melepaskannya. Maka perkara ini diterima dengan sumpahnya, karena sifat asli perwalian adalah khusus.

5)     الأصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته
Sesuatu ( hukum ) itu dinisbatkan pada waktu terdekat kejadiannya.
Makna: jika terjadi perbedaan pada masa atau zaman modern perkara, maka perkara ini dinisbatkan pada waktu terdekat dari waktu – waktu pada perubahan itu yang mana belum ditetapkan penisbatannya pada waktu terjauh.
Maka suatu perkara ataupun kejadian pada waktu terdekat itu bisa diyakini, dan diragukan jika waktunya jauh.
Contoh:
Jika seseorang melihat mani dibaju atau celananya dan dia tidak ingat bahwa dia telah tadi malam dia mimpi basah, maka dia harus mandi.

6)     هل الأصل في الأشياء الإباحة أو الحرمة
Apakah asal dari sesuatu itu  boleh atau haram?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat dan dalil didalamnya:
Pertama, asal dari sesuatu itu boleh. Dalilnya : “ dialah ( Allah ) yang mejadikan atau menciptakan bagi kalian apa – apa yang ada dibumi dan dilangit”[2]. Dan sabda rasulullah SAW “  apa – apa yang dihalalkan Allah maka dia hala dan apa – apa yang idharamkan Allah maka dia haram dan apa – apa yang didiamkannya maka itu dibolehkan dan mendapatkan syafa’at dari Allah SWT, dan sesungguhnya Allah sungguh tidak akan lupa terhadap suatu apapun”[3].
Kedua, asal dari sesuatu itu haram. Ini dinisbatkan pada imam syafi’I dari perkataan imam abu hanifah, tapi tidak didapatkan perkataan abu hanifah yang seperti itu. Ini juga merupakan pendapat dari sebagian ahli hadits dan mu’tazilah dengan dalil; “ dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang dikatakan lisanmu secara dusta, ini halal ini haram”[4]. Dan sebagian mereka berdalil dengan sebda rasulullah SAW, “ kehalalan itu telah jelas dan keharaman itu telah jelas dan diantara keduanya terdapat perkara yang syubhat ( mergukan ) dan umat islam berhenti ( tidak mengikuti ) yang  syubhat”[5].
Ketiga, al wakfu yang bermakna bahwasanya belum diketahui apakah disini hukum atau tidak.
Dan perkataan yang rojih menurut imam hanafiah adalah perkataan yang pertama.
Contoh:
Hewan – hewan yang yang belum jelaa permasalahanya seperti jerafah dab gajah contohnya maka bisa jadi halal atau haram dan yang shohiih dari keduanya adalah kehalalan jerafah.
Dan tumbuh – tumbuhan yang tidak diketahui penamaan maka terdapat perselisihan didalamnya dan yang jelasnya ( tumbuhan ini ) halal.

7)     الصل في الأبضاع التحريم
Asal dari jimak itu haram.
Contoh:
Jika seseorang mewakilakan kepada orang lain untuk membeli budak, kemudian orang ini membeli budak dan mati, maka tidak halal bagi orang yang  mewalikan pembelian budak ini sampai jelas kepadanya akad pembeliannya, karena bisa orang yang mati ini membeli budak untuk dirinya sendiri.

8)     لا عبرة للدلالة في مقابلة التصريح
Tidak diaanggap suatu bukti jika bertentangan dengan lafaz yang shorih atau jelas.
Yang dimaksud dengan dalil disini adalah sesuatu yang bukan lapaz dari keadaan atau urf atau isyarat atau tangan atau yang lainnya.
Dan shorih menurut shli usul fiqhi adalah penjelasan yang jelas, tepat dan dapat dimengerti.
Contoh:
Apabila si-B masuk rumah seseorang dan dia mendapatkan gelas diatas meja makan dan dia minum darinya dan ada sisa minumnya pada gelas dan tumpah, maka tidak ada tanggungan baginya, karena dalil tentang hal yang mengizinkan untuk minum darinya.

9)   لا ينسب إلى ساكت قول – ولكن السكوت في معرض الحاجة إلى البيان بيان
Suatu perkataan itu tidak dinisbatkan pada diamnya seseorang,akan tetapi diamnya seseorang  yang tidak memerlukan penjelasan maka itulah penjelanya.
Contoh:
Apabila seorang janda diam ketika diminta izin dalam pernikahan, maka izinnya belum ada. Karena untuk seorang janda harus menggunakan lafaz shorih dalam pelamarannya.

10) لا عبرة بالتوهم
Tidak diambil ( hukum ) pada suatu prasangka yang lemah[6]
Makna:
La ‘ibroh bermakna tidak ada pelajaran atau teladan dan tidak dihiutng.
At tawahhum bermakna prasangka yang lemah.
Makna qo’idah: sesungguhnya tidak ditetapkan suatu hukum syar’I itu yang bersandar pada prasangka yang lemah.
Contoh:
Jika seorang saksi pergi atau mati setelah menyampaikan persaksiannya dalam sebuah mu’amalah maka bagi hakim untuk berhukum dengan persaksiannya dan tidak mengakhirkan sebuah hukum karena berprasangka ( yang lemah ) bahwa dia akan kembali dengan persaksiannya, karena prasangka ( yang lemah ) tidak diambil hukum darinya.

11) لا عبرة بالظن البين خطؤه
Prasangka yang jelas kesalahannya tidak bisa dijadikan sebagai hukum[7].
Makna Qo’idah:
Sesungguhnya apabila terjadi sebuah perbuatan dari hukum atau keputusan atas prasangka kemudian dijelaskan kesalahan dari prasangka itu maka wajib untuk tidak mengambil I’tibar (pertimbangan) dari perbuatan itu dan meninggalkannya.
Contoh:
Dalam ibadah, jika disangka bahwa air itu najis dan berwudhu dengannya kemudian dijelaskan bahwa air ini suci, maka boleh wudhunya – kalau belum sholat – dan jika sudah sholat maka sholatnya harus diulang.
Pengecualian:
Jika seseorang sholat dengan baju yang terkena najis yang kelaihatannya bersih ( dari najis ) maka sholatnya harus diulangi.
Jika sseorang sholat sementara dia berhadats yang kelihatannya dia sudah berwudhu, maka sholatnya harus diulangi.

12) الممتنع عادة كالممتنع حقيقة
Suatu penghalang yang biasa seperti penghalang yang sebenarnya[8].
Penghalang hakiki maksudnya adalah sesuatu yang mustahil yang tidak mungkin dicapai oleh akal (manusia biasa).
Contoh:
Barang siapa yang berkeinginan untuk memberikan kain yang terbalut didalamnya kain, maka dia harus memberikan kedua kain itu karena terdapat kain didalamnya. Dan barangsiapa yang berkeingina memberikan kain yang terbungkus oleh sepuluh kain maka dia cuma memberikan satu kain saja karena satu kain tidak bisa dibungkus dengan sepuluh kain.

13)  لا حجة مع الإحتمال الناشىء عن دليل
Tidak dianggap Suatu hujjah atau pengakuan yang terkandung kemungkinan – kemungkinan dari bukti[9].
Makna:
Hujjah maksudnya adalah petunjuk, dan dalil maksudnya adalah petunjuk.
Makna Qo’idah:
Sesungguhnya tidak diterima atau bermanfa’at hujjah ( pengakuan ) yang didalamnya terkandung kemungkinan yang dibangun dari dalil dzanniy ataupun qhot’iy yang mengandung kemungkinana – kemunginan.
Contoh:
Apabila seseorang didalam sakitnya yang hampir mencapai kematian mengaku memiliki hutang kepada anaknya yang pertama,maka pengakuannya ini tidak diterima jika belum dibenarkan oleh ahli waris yang lain. Karena bisa saja si sakit meninginkan bagian yang lebih untuk anak yang pertamanya dalam perkara warisan dan juga dikarenakan keadaannya yang sekarat memungkinkan apa yang diucapkannya tidak lagi sesuai dengan kenyataannya.
Pendapat ini menurut mazhab abu hanifah dan imam ahmad, sedangkan imam malik  berpendapat diterima pengakuannya jika tidak berubah dan jika berubah tidak diterima,
dan imam syafi’I berpendapat pengakuannya diterima[10]

الوجيز في إيضاح قواعد الفقه الكلية , الدكتور صدقي بن أحمد البورنو : 89 – 128



[1] Al madkhal al fikhiy hal 961
[2] Qs Al baqarah : 29
[3] HR: at thobroni dan bazaar dengan sanad hasan
[4] Qs : an nahl 116
[5] HR: al bukhory dan muslim tanpa kata والمؤمنون
[6] Al majalah materi 74, dan al madkhal li zarqo’ 582
[7] Syarah al majalah lil atasy 209 – 210 dengan perubahan dan aly haidar hal 65
[8] Qowaidul khodimiy hal 332, majalah ahkam 38, dan lainnya
[9] Qowaidul khadimiy hal 329, majalah ahkam al ‘adliyah 573, al madkhol al fiqhiy 583, syarah majalah al atasy 203 dan lainnya.
[10] Al iqsooh 2/18 dan takhrijul furu’ 212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar