Oleh: Azzam al Indragiri/ Ransi Mardi
TA’RIF
Kata Haajah merupakan isim masdar dari kata احتاج yang bermakna membutuhkan atau memerlukan[1], atau bermakna افتقر yang artinya membutuhkan[2].bisa juga dikatakan, “kebutuhan seseorang kepada suatu perkara yang dilarang baginya untuk melakukannya”[3]. Asy syatibiy berkata, “ haajah adalah kebuthan seseorang kepada suatu perkara dari sisi keluasannya dan menghilangkan kesulitan yang ditemuinya”[4]. Atau kondisi pada seseorang jika tidak melakukan yang diharamkan berada dalam posisi yang berat dan sulit.
Contohnya, kebutuhan seseorang akan makanan dan minuman ketika kehausan dan kelaparan.
Dhoruro secara etimology bermakna kebutuhan seseorang kepada sesuatu[5]. Dan secara terminology mempunyai dua makna, menurut faqih dan usuliy. Menurut faqih adalah sampainya seseorang pada situasi yang mana jika dia tidak mengambil yang dilarang maka akan berdampak kepada kerusakan ( kematian ), makanya dhoruro membolehkan sesuatu yang diharamkan[6]. Dan menurut usuliy adalah setiap kabar dhoruro yang berkaitan dengan maslah politik Negara ( السياسة العالم )[7]. Juga bermakna sesuatu yang jika tidak melakukan yang diharamkan Allah dipastikan akan menimbulkan bahaya kematian atau mendekati kematian.
Contohnya: seseorang dipaksa mengucapkan kalimat kufur, atau seseorang yang tersesat dipadang pasir, tidak menemui makanan kecuali bangkai maka dia boleh memakannya.
Haajah sendiri terbagi menjadi dua macam, Haajah ‘am dan Haajah khos.
· Hajah yang bersifat umum adalah hajah yang sudah menjadi kebutuhan seluruh manusia secara umum seperti pertanian, produksi, perdagangan dan sistem politik yang adil.
Contohnya: jual beli hutang dengan hutang.
· hajah yang bersifat khusus ialah hajah yang dibutuhkan oleh sekelompok manusia secara khusus dan terbatas, seperti dibolehkannya memakai sutera bagi seorang lelaki yang mengidap penyakit kulit[8].
Akan tetapi Al-hajah juga mempunyai pengaruh dalam proses perubahan status hukum, hanya saja kadar pengaruhnya berada di bawah dharurah. Atau dalam kata lain, dharurah dan hajah adalah dua hal yang sama-sama mempunyai pengaruh dalam perubahan status hukum, namun secara formatif dharurah berada di atas hajah dalam besar kecilnya pengaruh itu tersebut.
SYARAT-SYARAT DHORUROOH
1. Syarat pertama: hendaknya kondisi genting, gawat & bahaya tersebut bisa hilang dengan mengerjakan hal yang haram tersebut , jika tidak bisa hilang keadaan genting tersebut maka tidak boleh mengerjakan hal yang haram tersebut, ahlul fiqh memberikan misal : orang yang sangat kehausan dan tidak mendapati air kecuali khomer ( minuman keras ) maka ini tidak boleh diambil untuk di minum karena khamer ( minuman keras ) tidak menhilangkan dahaga dan haus , bahkan akan membuat orang tersebut semakin kehausan dansemakin dahaga , maka hal yang haram disini malah justru menambah bahaya dan tidak bisa menhilangkan bahaya tersebut .
2. Syarat kedua : tidak ada jalan lain untuk menghilangakn kondisi gawat dan bahaya tersebut , namun jika ada jalan lain maka tidka boleh mengerjakan hal yang haram tersebut, misalnya : ada dokter laki laki dan dokter perempaun , sedang pasiennya adalah pasien perempuan maka kita mengunakan dokter perempuan untuk memeriksa tubuh pasen perempuan yang sakit tersebut, dan kita tidak boleh memilih dokter laki-laki untuk memeriksa pasien perempuan dikarenakan adanya dokter wanita yang siap Dan juga termasuk syarat dari qaidah ini adalah : hendaknya hal yang haram tersebut lebih sedikit dari dhorurah ( bahaya ) maka jika dhorurohnya ( bahayanya) lebih besar maka tidak boleh.
Didalam al mughniy disebutkan, “sesungguhnya darurat itu hanya yang berkait dengan kekhawatiran terhadap kematian saja. Demikian menurut pendapat yang shahih. Pendapat yang dikutib dari imam ahmad bin hanbal menyatakan, disebut dalam keadaan darurat kalau seseorang yakin bahwa nyawanya nyaris terancam melayang kalau sampai ia tidak mau memakan sesuatu yang haram. Ada yang berpendapat, tidak harus. Seseorang yang takut akan terjadi resiko pada dirinya saja sudah bisa dikatakan ia dalam keadaan darurat”[9].
PERBEDAAN ANTARA DHORURO DAN HAAJAH
1. kondisi darurat menyebabkan dibolehkannya sesuatu yang diharamkan Allah, baik yang menimpa individu maupun jamaah. Sedangkan hajat tidak mendapatkan dispensasi keringanan dari hukum kecuali jika hajat tersebut menimpa jamaah (kelompok manusia). Karena setiap individu memiliki hajat masing-masing dan berbeda dari yang lain, maka tidak mungkin setiap orang mendapatkan hukum khusus. Lain halnya pada kondisi darurat karena ia merupakan kondisi yang langka dan terbatas.
2. Hukum rukhsoh karena darurat adalah penghalalan sementara pada sesuatu yang diharamkan secara nash dan penghalalan tersebut selesai dengan lenyapnya kondisi darurat dan terbatas pada seseorang yang tertimpa kondisi tersebut. Adapun hukum yang dibangun atas hajat adalah hukum yang tidak bertentangan dengan nash tetapi bertentangan dengan kaidah dan qiyas yang bersifat umum. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa bunga bank yang diharamkan adalah bunga bank yang konsumtif sedangkan yang produktif tidak dilarang. Tetapi pendapat ini bertentangan dengan realitas masyarakat Quraisy di Mekkah, dimana mayoritas mereka adalah pedagang yang biasa melakukan perdagangan luar negeri antara Yaman dan Syam, dan mereka bermuamalah dengan riba’ untuk tujuan dagang. Pendapat ulama yang lain mengatakan bahwa bunga bank yang diharamkan adalah bunga bank yang berlipat ganda itu (adh’afan mudha’afah) sedang riba yang kecil seperti 10%, atau 5% tidak termasuk riba yang dilarang. Tetapi pendapat ini juga tertolak karena ungkapan adh’afan mudha’afah adalah dalam konteks menerangkan kondisi obyektif riba atau bunga bank dan sekaligus mengecamnya. Bahkan jika kita berpegang pada zhahirnya ayat, maka yang disebut berlipat ganda itu besarnya 600% -sebagaimana dikatakan Prof. Dr. Muhammad Diraz- karena kata adh’af merupakan bentuk jama, paling sedikit tiga, maka jika tiga dilipatgandakan akan menjadi enam maka berlipat ganda berarti 6 kali atau 600%. Maka hal ini tidak akan pernah terjadi pada perbankan manapun. Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi umat Islam bermuamalah dengan bunga bank yang dilakukan oleh bank konvensional. Apalagi sekarang sudah mulai bermunculan Bank Islam atau Bank Syari’ah yang tidak mempraktekkan riba’[10].
3. Ad- dhorurah bersifat individu,tidak berkaitan denga orang lain, adapun al- hajah biasanya tergantung pada perkiraan dan kebiasan secara umum.
4. Ad- dhorurah membolehkan sesuatu yang banyak dan ringan adapun al- hajah hanya membolehkan sesuatu yang ringan[11].
الحمد لله
[1] Majalah jami’ah dimasyqo lil ulumi al iqtisodiyah wa al qonuniyah.26/1. Th. 2010
[2] Al munjid :120 bab حاج
[3] Al munjid : 447 bab ضر
[4] Majalah jami’ah
[5] Al munjid : 447 bab ضر
[6] Perkata’an imam suyutiy
[7] Al majalah dimasyqo
[8] Al majalah dimasyqo
[9] Al mughniy, ibnu qudamah
[10] Muhammad yusuf
[11] Al majalah dimasyqo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar