Sabtu, 10 Maret 2012



Oleh : Azzam Al Indragiri / Ransi Mardi

MENINGGALKAN SUATU KERAGUAN

حدثنا أبو موسى الأنصاري, حدثنا عبدالله بن إدريس, حدثنا شعبة عن بريد بن مريم عن أبي الحوراء السعدي قال : قلت للحسن بن علي بن أبي طالب رضي الله عنهما ما حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم, قال : حفظت من رسول الله صلى الله عليه و سلم (( دع ما يريبك إلى ما لا يريبك )) ( رواه الترمذي و النسائي ).

Artinya : Abu musa al ‘anshory[1] telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin idris telah menceritakan kepada kami, syu’bah[2] telah menceritakan kepada kami dari Buraid bin maryam dari abu al hawra’ as sa’di telah berkata : Aku berkata kepada Hasan bin ‘ali bin abu thalib Rodiyallahu’anhuma[3], apa yang telah kamu hapal dari Rasulullah Sallallhu’alihiwasalam?  Maka dia berkata : Aku telah menghafal dari Rasulullah Salallahu’alaihiwasalam (( Tinggalkanlah apa – apa yang meragukanmu kepada apa – apa yang tidak meragukanmu )) ( HR: At tirmizi[4] dan An nasa’I[5] ).

Didalam jami’u tirmizi terdapat tambahan    .فإن الصدق طمأننة وإن الكذب ريبةYang artinya  :
( sesungguhnya kejujuran akan mendatangkan kedamaian atau ketenangan dan kedustaan akan mendatangkan keraguan )[6].
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan At-Tirmidzi, 4/77). Kisah yang dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin Ali c menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa masalahnya wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullahmenjawab: shallallahu‘alaihiwasallam
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”[7]
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya2 mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali. Dan hadits ini termasuk sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya.
            Hadits ini diriwayatkan dari cucu Nabi saw yang kebanyakan ulama menyatakan kemiripannya dengan kakeknya Rasulullah saw. Israil berkata: al hasan adalah manusia yang paling menyerupai Rasulullah saw dari dada sampai kepala, dan al husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw dibawah daripada itu[8]. Banyak para tabiian yang meriwayatkan hadits darinya, diantaranya; anak laki – lakinya al hasan, suwaid bin ghaflah, abu al haura’ as sa’di, asy sya’by, dan lain – lainnya.[9]
Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain (1/222-224). Sementara perkataan Jauzajani bahwasanya Abul Haura’ majhul, tidak diketahui keadaannya atau tidak dikenal sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/278) tidak benar keberadaannya, karena Abul Haura’ yang namanya Rabi`ah ibnu Syaiban As-Sa`di di-tsiqah-kan oleh Al-Imam An-Nasa’i rahimahullah. Berkata Al-`Ijli rahimahullah: “Rabi`ah (Abul Haura’) adalah seorang tabi`i lagi tsiqah.” Berkata Al-Hafizh rahimahullah: “Rabi`ah adalah tsiqah (terpercaya).”[10]
            Hadits ini merupakan jawami’ul kalam atau perkataan yang ringkas, padat, jelas dan sarat makna, dan juga hukum kenabian yang telah disampaikan yang dengan kalimatnya yang sedikit terkandung banyak Qo’idah – Qo’idah penting dalam agama islam; diantaranya, meninggalkan yang masih syubhat dan memibiasakan diri dengan kehalalan yang sudah diyakini. Maka dari itu Ibnu Hajar Alhaitami berkata: hadits ini merupakan Qo’idah utama dari Qo’idah – Qo’idah agama ( islam ), dan pada dasarnya orang yang wara’ adlah orang yang memiliki keyakinan, dan jalan yang menyalamatkan dari gelapnya keraguan dan angan – angan yang menjadi penghalang dari cahaya kebenaran[11]. Imam an nawawi berkata : “ sabda Rasulullah saw diatas merupakan dalil bahwa orang – orang bertaqwa sebaiknya jangan memakan harta yang mengandung subhat, apalagi memakan harta yang jelas – jelas haram[12].

PENJELASAN

            Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa – apa yang tidak meragukanmu, maksudnya adalah beralih kepada sesuatu yang tidak ada keraguan sama sekali didalamnya berupa makanan yang membuat hati merasa tentram dan jiwa merasa tenang, dan ragu disini bermakna bimbang[13]. Atau bermakna , meninggalkan apa – apa yang meragukanmu yang didalamnya terkandung syubhat dan meninggalkan apa – apa yang meragukanmu dalam perkara yang dianjurkan[14]. Atau keraguan yang berupa tuduhan[15]. Imam ibnu daqiq berkata : kalimat,  apa yang membuatmu ragu, maksudnya tinggallkanlah sesuatu yang kamumerasa ragu – ragu terhadapnya, dan beralih kepada sesuatu yang  kmau tidak merasa ragu – ragu terhadapnya, yang kembali pada hadits,  yang halal itu sudah jelas, yang haram itu sudah jelas dan yang diantara keduanya adalah perkara syubhat ( HR. Bukhory dan Muslim)[16]. Serta meninggalkan syubhat – syubhat dalam perkara ibadah, mu’amalah, pernikahan dan setiap pintu – pintu yang berkenaan dengan hukum, dan melazimi untuk mencari dan mengerjakan yang halal dalam masalah – masalah tadi dapat menyampaikan aatau menyebabkan seorang hamba menjadi wara’[17]. Syaikh utsaimin berkata : bersumber dari abu Muhammad al hasan bin ali ra, cucu Rasulullah saw, dari ayah dan ibunya, yaitu anak laki – laki putri Rasulullah saw. Ia yang terbaik diantara hasan – hasan yang lain, karena Rasulullah saw memujinya seraya bersabda,” sesungguhnya cucuku ini adalah seorang pemimpin, karena ia akan  mendamaikan dua golongan kaum muslimin ( yang bertikai ). Maksud dari tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu adalah; tinggalkan apa yang kamu ragu – ragu dan bimbang padanya kepada sesuatu yang kamu tidak ragu – ragu dan bimbang padanya, ini sama dengan hadits Rasulullah saw (( diantar keduanya ada perkara – perkar syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya, siapa yang taut syubhat maka dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya)) sesuatu yang membuat anda bimbang dan ragu – ragu, baik yang menyangkut urusan – urusan duniawi atau urusan – urusan akhirat, sebaiknya anda hindari dan tinggalkan, supaya tidak ada rasa gelisah dan bimbang terhadap apa yang anda lakukan[18]. Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat[19].

PERKATAAN DAN PERBUATAN ULAMA

·         Abu dzar alghifary ra berkata: kesempurnaan suatu ketakwaan itu meninggalkan sebagian yang halal karena takut menjadi haram.
Abu abdurrohman alumary a zahid berkata: apabila seorang hamba itu memiliki sifat wara’ maka dia akan meninggalkan apa yang meragukannya kepada apa yang tidak meragukannya.
Alfudhail berkata: manusia menganggap wara’ itu berat, dan apabila datang kepadaku dua perkara kecuali aku akan mengambil yang paling berat diantara keduanya.
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi berkata: wara’ itu ada 4 tingkatan:
 1 Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2 Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3 Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yangharam.
4 Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya)[20].
Hasan bin abi sinan berkata: tidaklah sesuatu lebih ringan daripada wara’, jika kamu bimbang terhadap suatu perkara maka tinggalkanlah dia[21].
Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat[22]
·         Dikatakan kepada ibnu adham, “ kenapa engkau tidak minum dari air zam – zam”??? Maka dia menjawab, “  kalaulah aku mempunyai timba maka aku akan minum”. Hal ini mengisyaratkan atau menunjukkan bahwasanya timba yang ada adalah dari pemerintah dan it adalah perkara yang meragukkan[23].
Adalah zaid bin zari’ ketika diberi 500 rbu warisan dan dia tidak mengambilnya karena ayahnya bekerja dipemerintahan. Dan zaid bekerja sendiri membuat keranjang dari daun kurma dan makan dari hasilnya sendiri[24].
‘Aisyah mengabarkan bahwa Abu Bakar z pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Maka budak tadi berkata kepadanya: “Apakah engkau tahu dari mana aku dapatkan makanan ini?” Abu Bakar zbertanya: “Dari mana engkau mendapatkannya?” Budaknya menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku pernah meramal untuk seseorang, sebenarnya aku tidak pandai meramal namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.” Mendengar hal tersebut Abu Bakarzsegera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang terlanjur masuk ke dalam kerongkongannya, kemudian ia memuntahkan semua makanan itu[25]
Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul Khaththab zmenetapkan subsidi rutin bagi para shahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4000 sementara putranya ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada yang berkata kepada ‘Umar: “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?” Umar menjawab: “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya)[26].
·         Apabila bersinggungan antara keraguan dan keyakinan maka kami mengambil keyakinan itu, mendahulukannya dan kami berpaling dari keraguan. Makna ini berkesesuaian dengan qo’dah fiqhiah yang ketiga, yakni keyakinan tidak akan terhapus atau terkalahkan dengan keraguan[27].
·         Dan hadits ini menunjukkan kita agar meninggalkan hal – hal yang membuat kita ragu dan memilih hal – hal yang membuat kita yakin alias tidak ragu – ragu terhadapnya[28].

FAEDAH HADITS

1 Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauh dari perkara syubhat.
2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3. Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya, demikian pula perkara dosa.
4. Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agamanya dan kehormatannya.
5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara‘, adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara‘ yang hambar, tanpa makna.
6 Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Bila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini agar sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut atau tidak ada hawa nafsu yang mempengaruhinya.
7. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan jawami`ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana dikandung dalam hadits ini[29].

MAROJI’
1.      Al wafi fi syarhi arba’in an nawawi, DR. musthofa albugho dan muhyuddin mistu, daru ibnu katsir, dimasqo Beirut.
2.      Tuhfatu ahwazi juz 7, almubarokfury, daru al fikr.
3.      Siaru a’lam an nubala’, syamsuddin Muhammad bin ahmad bin ustman az zahaby, juz 3.
4.      Syarah arba’in nawawiyah, imam nawawi, akbar media
5.      Shohih al bukhory
6.      Fathul Qodir
7.      Mukhtasor minhajul qosidin
8.      Tahdzibul kamal
9.      www asy syari’ah.com



[1]  Dia adalah ishaq bin musa al anshory ( tuhfatul ahwazi, al mubarakfury : 230 )
[2] Kemungkinan ini, Nama sebenarnya adalah Abu Bustham Syu’bah Ibnul Hajjaj al “Utakiy al Azdy, ia berasala dari Wasith kemudian hijrah dan menetap di Bashrah. Ia seorang ulama dari golongan tabi’it tabi’in dan seorang yang hafidh dari tokoh hadits. Ia menerima hadits dari Ibnu Sirin, Amr bin Dinar, asy Sya’by dan dari sejumlah tabi’in lainnya. Diantara yang menerima hadits darinya adalah al A’Masy, ayyub as Sakhtayany, Muhammad Ibnu Ishaq, ats Tsaury, Ibnu Mahdy, Wakie’, Ibnul Mubarak, Yahya al Qaththan dan lain lainnya. Beliau diakui sebagai imam hadits yang sangat kokoh hapalannya. Ahmad bin Hanbal berkata,” Tidak ada di masa Syu’bah orang yang sepertinya dalam bidang hadits dan tidak ada yang lebih baik tentang hal hadits daripadaanya”. Asy Syafi’iy berkata, “ Andaikata tidak ada Syu’bah, orang irak tidak banyak mengetahui hadits” sedangkan Sufyan ats Tsaury berkata,” Syu’bah adalah Amirul Mukminin dalam bidang hadits”. Dan Shalih Ibnu Muhammad berkata,” Ulama yang mau mengatakan tentang hal rijal hadits adalah Syu’bah”. Ia wafat di Bashrah pada tahun 160 H dalam usia 77 tahun (tahdzib at tahdzib, ibnu hajar al asqolani).
[3]  Abu Muhammad, alhasan bin ali bin abi tholib al qursyi al hasyimi al madani as syahid, cucu kesayangan Rasulullah saw dan pemimpin para pemuda ahlu jannah. Lahir pada sya’ban tahun ketiga hijriah dan ada yang mengatakan lahir pada pertengahan ramadhan tahun ketiga hijriah dan tutup usia pada tahun 49 hijriah, dan ada juga yang mengatakan pada tahun 50 hijriah atau 51 hijriah ( siaru a’lam an nubala’, syamsuddin Muhammad bin ahmad bin ustman az zahaby : 245 – 279 ). Rasulullah bersabda:
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]
[4]  Nama lengkapnya adalah Imam Al-Hafidz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi. Dia adalah salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur. Tirmidzi lahir pada 279 H di kota Tirmiz dan wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun. Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka. Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin Al-Musanna dan lain-lain. Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Aid bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain. Abu Isa At-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. (tahdzib at tahdzib, ibnu hajar al asqolani).
[5]  Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’I dan wafat pada tahun 303 H. (tahdzib at tahdzib, ibnu hajar al asqolani).
[6]  Jami’u atAt tirmizi
[7]  Al Wafi, DR. Musthofa al bugho dan muhyuddin situ
[8]  Siaru a’lam an nubala’
[9]  Ibid
[10]  Tahdzibul Kamal, 9/117, Tahdzibut Tahdzib, 3/221, At-Taqrib, hal. 147
[11]  Al wafi fi syarhi arba’in an nawawi ( DR. Musthofa al bugho dan muhyuddin mistu : 85 )
[12]  Syarah  arba’in an nawawi ( imam nawawi : 73 ).
[13]  Syarah arba’in an nawawi ( imam nawawi : 73 )
[14]  Al wafi fi syarhi arba’in an nawawi ( DR. Musthofa bugho dan syamsuddin mistu : 85 )
[15]  Tuhfatul ahwazi ( almubarakfury : 230 )
[16]  ibid
[17] Al wafi
[18]  Syarah arb’in hal 74
[19]  Fathul qadir 3/529
[20]  Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88
[21]  Al wafi ( h: 86 )
[22]  Faidhul Qadir, 3/529
[23]  ibid
[24]  ibid
[25]  Shohih al bukhory no 3842
[26]  Shohih  al bukhory no 3912
[27]  Al wafi hal 87
[28]  Syarah arba’in an nawawi hal 74
[29]  Ww asy syari’ah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar