I’TIKAF
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Ransi Mardi al indragiri
·
I’tikaf,
antara Rasulullah dan kita
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِيْ
الوِتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Artinya: “Carilah oleh kalian
malam lailatul qadr di malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir
Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adalah Rasulullah yang
memberikan contoh kepada umat Islam untuk bersungguh-sungguh beribadah di
sepuluh malam terakhir. Karena di sepuluh malam terakhir terdapat malam
Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan atau 83 tahun kurang lebih.
Secara spesifik Rasulullah memberikan bocoran bahwa malam lailatul qadr besar
kemungkinan di malam-malam ganjir pada sepuluh malam terakhir. Namun harusnya
hal ini tidak membuat kita hanya berI’tikaf pada malam-malam ganjil saja.
Karena Rasulullah tidak pernah pilih-pilih, Rasulullah berI’tikaf di sepuluh
malam terakhir, baik malam ganjil maupun malam genap. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Al Hasan al Bashri[1], “Aku
beberapa kali mendapatkan malam lailatul qadr di malam ke-24.”[2]
Artinya, malam lailatul qadr tidak tertutup kemungkinan jatuh pada malam-malam
genap.
Para sahabat Nabi melanjutkan
sunnah Rasulullah (i’tikaf) setelah beliau wafat. Sahabat-sahabat yang dijamin
masuk surga oleh Rasulullah seperti Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khathab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan lain-lainnya rela meninggalkan
kesibukkan dunia demi mencari malam lailatul qadr di sepuluh malam terakhir
Ramadhan.
Begitu pula
ulama-ulama setelahnya, mereka sangat takut jika terlalaikan oleh urusan dunia
di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Maka tidak heran jika Imam Syafi’i (Ghaza,
150-204H) dalam salah satu riwayat sampai khatam Al Qur’an hingga 60 kali di
satu bulan Ramadhan.
Namun apa yang
dilakukan Rasulullah, para sahabat dan ulama terdahulu berbanding terbalik 180
derajat dengan kondisi umat Islam hari ini. Hari ini, umat Islam lebih
disibukkan dengan perkara-perkara dunia di sepuluh malam terakhir. Ibu-ibu
biasanya disibukkan dengan persiapan lebaran, mulai dari membuat kue, menghias
rumah hingga mengatur jadwal dan memesan tiket perjalan liburan lebaran.
Bapak-bapak biasanya tidak mau ketinggalan. Hal ini diperparah dengan banyaknya
tokoh yang menawarkan discount belanja besar-besaran di sepuluh hari terakhir
Ramadhan. Tentu saja hal ini memicu banyak umat muslim untuk memanfaatkannya,
hingga penuhlah toko-toko, supermarket dan Mall dan kosong lomponglah
masjid-masjid. Tidak cukup disitu, budaya mudik (khususnya Indonesia) juga
memperparah keadaan. Bus-bus, kereta api hingga penerbangan dipenuhi oleh para
pemudik, namun ironinya lagi-lagi masjid sepi senyap. Sekolah-sekolah sampai
Universitas pun kadang tidak bisa di ajak kompromi. Kadang libur diberikan
ketika sudah dekat dengan sepuluh hari terakhir Ramadhan, sehingga para pelajar
dan mahasiswa hingga para guru serta dosen lebih fokus mengurusi kepulangan ke
kampung halaman daripada mendekatkan diri kepada Allah di sepuluh malam
terakhir Ramadhan.
Hal ini memang tidak
mengherankan, mengingat Allah telah meberikan rumus mudah bagi kita. Yaitu,
hanya sedikit yang bertakwa kepada Allah sedangkan yang banyaknya bermaksiat
kepada Allah. Maka sedikit pulalah yang akan masuk ke dalam Surganya Allah
sedangkan yang banyaknya akan merasakan panasnya Neraka Allah. Maka pilihlah
apa-apa yang menyelamatkan kita dunia akhirat, yaitu tetap beribadah dimana
banyak orang telah lalai dari mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah.
Karena syafaat yang Allah dan Rassulullah berikan hanya bagi orang-orang yang
dengan maksimal berusaha menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Imam az Zuhri berkata,
“Mengherankan manusia ini, bagaimana bisa mereka meninggalkan i’tikaf
sementara Rasulullah biasanya mengerjakan suatu amalan dan meninggalkannya
(amalan sunnah), namun Rasulullah tidak pernah meninggalkan i’tikaf hingga
beliau meninggal dunia.”[3]
·
Pengetahuan singkat
tentang I’tikaf
I’tikaf adalah berdiam
diri di Masjid dengan melakukan amalan-amalan yang sesuai dengan syariat Islam.
Para ulama mebatasi i’tikaf dilakukan di masjid yang didirikan di dalamnya
shalat Jum’at.
Hikmah i’tikaf
diantaranya adalah mengobati hati dengan mendekatkan diri kepada Allah dan Memaksimalkan
amal sholeh di waktu lapang. I’tikaf syar’i dimulai dari magrib malam ke dua puluh satu hingga magrib malam
terakhir Ramadhan. Namun para ulama menganjurkan untuk menyudahi i’tikaf hingga
shalat Aidul Fitri. Namun umat muslim yang memiliki tanggungjawab yang tidak
bisa ditinggalkan di siang hari, maka malam hari harusnya menjadi ‘pelampiasan’
untuk mengejar ketertinggalkan di siang hari.
Syarat-syarat i’tikaf:
1. Islam
2. Berakal
3. Di masjid
4. Berniat untuk i’tikaf
5. Dalam kondisi puasa
6. Suci dari jinabah, haidh dan nifas
7. Idzin suami bagi wanita yang ingin beri’tikaf
Adab-adab i’tikaf:
1. Menyibukkan diri dengan amal sholeh seperti shalat,
tilawah Al Qur’an, dzikir, shalawat, mempelajari Al Qur’an, mempelajari Tafsir,
mempelajari ilmu-ilmu syar’i, menghayati penciptaan langit, bumi, manuisa dan
ciptaan-ciptaan Allah lainnya, mempelajari hadits Nabi, kisah para Nabi, kisah
para sahabat dan kisah para ulama.
2. Puasa
3. Pada bulan Ramadhan
4. Di masjid Jamik (masjid yang didirikan shalat
Jum’at di dalamnya)
5. I’tikaf hingga malam Aidul Fitri
6. Meninggalkan apa-apa yang tidak ada manfaatnya
berupa perkataan dan perbuatan.
Makruh-makruh i’tikaf:
1. Menghadiri jual beli
2. Berdagang
3. Hanya diam ketika i’tikaf, karena i’tikaf diam
adalah i’tikafnya ahlu kitab
Pembatal-pembatal
i’tikaf:
1. Keluar masjid tanpa udzur syar’i
2. Jimak walau karena lupa
3. Keluar mani karena proses sadar (bukan mimpi basah)
4. Murtad
5. Mabuk di siang hari
6. Haidh dan nifas
7. Makan dengan sengaja di siang hari
8. Melakukan dosa-dosa besar, seperti ghibah, namimah,
berdusta dll.
Referensi:
1. Al Wajiz fii fiqhil islamiy. Wahbah az Zuhaili
2. Al Jamii’ li ahkamil Qur’an. Imam al Qurthubi
3. Aisaaru at Tafasiir. Abu Bakar Jabir al Jazaairi
4. Fiqhu sunnah. Syaikh Sayyid Sabiq
5. Al Mishbah al Muniir. Shofiyu Rahman al Mubarakfuri
6. Majmu’ Syarhul Muhadzzab. Imam an Nawawi
7. Puskafi.com
[1] Seorang Tabiin yang lahir di zaman Umar bin
Khahab. Beliau pernah belajar kepada sahabat-sahabat senior seperti Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib dan lain-lain. Beliau juga termasuk satu dari
tujuh ahli fiqih kota Madinah ketika itu.
[2] Al
Jaami’ li ahkamil Qur’an. Imam al Qurthubi: 22/534
[3] Al
Wajiiz fii fiqhil islamiy. Wahbah az Zuhaili: 1/348
Tidak ada komentar:
Posting Komentar