Kamis, 09 Juli 2015

Ayo i'tikaf


I’TIKAF
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Ransi Mardi al indragiri

·        I’tikaf, antara Rasulullah dan kita
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِيْ الوِتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Artinya: “Carilah oleh kalian malam lailatul qadr di malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adalah Rasulullah yang memberikan contoh kepada umat Islam untuk bersungguh-sungguh beribadah di sepuluh malam terakhir. Karena di sepuluh malam terakhir terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan atau 83 tahun kurang lebih. Secara spesifik Rasulullah memberikan bocoran bahwa malam lailatul qadr besar kemungkinan di malam-malam ganjir pada sepuluh malam terakhir. Namun harusnya hal ini tidak membuat kita hanya berI’tikaf pada malam-malam ganjil saja. Karena Rasulullah tidak pernah pilih-pilih, Rasulullah berI’tikaf di sepuluh malam terakhir, baik malam ganjil maupun malam genap. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Al Hasan al Bashri[1], “Aku beberapa kali mendapatkan malam lailatul qadr di malam ke-24.”[2] Artinya, malam lailatul qadr tidak tertutup kemungkinan jatuh pada malam-malam genap.
Para sahabat Nabi melanjutkan sunnah Rasulullah (i’tikaf) setelah beliau wafat. Sahabat-sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah seperti Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan lain-lainnya rela meninggalkan kesibukkan dunia demi mencari malam lailatul qadr di sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Begitu pula ulama-ulama setelahnya, mereka sangat takut jika terlalaikan oleh urusan dunia di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Maka tidak heran jika Imam Syafi’i (Ghaza, 150-204H) dalam salah satu riwayat sampai khatam Al Qur’an hingga 60 kali di satu bulan Ramadhan.
Namun apa yang dilakukan Rasulullah, para sahabat dan ulama terdahulu berbanding terbalik 180 derajat dengan kondisi umat Islam hari ini. Hari ini, umat Islam lebih disibukkan dengan perkara-perkara dunia di sepuluh malam terakhir. Ibu-ibu biasanya disibukkan dengan persiapan lebaran, mulai dari membuat kue, menghias rumah hingga mengatur jadwal dan memesan tiket perjalan liburan lebaran. Bapak-bapak biasanya tidak mau ketinggalan. Hal ini diperparah dengan banyaknya tokoh yang menawarkan discount belanja besar-besaran di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Tentu saja hal ini memicu banyak umat muslim untuk memanfaatkannya, hingga penuhlah toko-toko, supermarket dan Mall dan kosong lomponglah masjid-masjid. Tidak cukup disitu, budaya mudik (khususnya Indonesia) juga memperparah keadaan. Bus-bus, kereta api hingga penerbangan dipenuhi oleh para pemudik, namun ironinya lagi-lagi masjid sepi senyap. Sekolah-sekolah sampai Universitas pun kadang tidak bisa di ajak kompromi. Kadang libur diberikan ketika sudah dekat dengan sepuluh hari terakhir Ramadhan, sehingga para pelajar dan mahasiswa hingga para guru serta dosen lebih fokus mengurusi kepulangan ke kampung halaman daripada mendekatkan diri kepada Allah di sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Hal ini memang tidak mengherankan, mengingat Allah telah meberikan rumus mudah bagi kita. Yaitu, hanya sedikit yang bertakwa kepada Allah sedangkan yang banyaknya bermaksiat kepada Allah. Maka sedikit pulalah yang akan masuk ke dalam Surganya Allah sedangkan yang banyaknya akan merasakan panasnya Neraka Allah. Maka pilihlah apa-apa yang menyelamatkan kita dunia akhirat, yaitu tetap beribadah dimana banyak orang telah lalai dari mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena syafaat yang Allah dan Rassulullah berikan hanya bagi orang-orang yang dengan maksimal berusaha menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Imam az Zuhri berkata, “Mengherankan manusia ini, bagaimana bisa mereka meninggalkan i’tikaf sementara Rasulullah biasanya mengerjakan suatu amalan dan meninggalkannya (amalan sunnah), namun Rasulullah tidak pernah meninggalkan i’tikaf hingga beliau meninggal dunia.”[3]

·        Pengetahuan singkat tentang I’tikaf
I’tikaf adalah berdiam diri di Masjid dengan melakukan amalan-amalan yang sesuai dengan syariat Islam. Para ulama mebatasi i’tikaf dilakukan di masjid yang didirikan di dalamnya shalat Jum’at.
Hikmah i’tikaf diantaranya adalah mengobati hati dengan mendekatkan diri kepada Allah dan Memaksimalkan amal sholeh di waktu lapang. I’tikaf syar’i dimulai dari magrib  malam ke dua puluh satu hingga magrib malam terakhir Ramadhan. Namun para ulama menganjurkan untuk menyudahi i’tikaf hingga shalat Aidul Fitri. Namun umat muslim yang memiliki tanggungjawab yang tidak bisa ditinggalkan di siang hari, maka malam hari harusnya menjadi ‘pelampiasan’ untuk mengejar ketertinggalkan di siang hari.
Syarat-syarat i’tikaf:
1.     Islam
2.     Berakal
3.     Di masjid
4.     Berniat untuk i’tikaf
5.     Dalam kondisi puasa
6.     Suci dari jinabah, haidh dan nifas
7.     Idzin suami bagi wanita yang ingin beri’tikaf
Adab-adab i’tikaf:
1.     Menyibukkan diri dengan amal sholeh seperti shalat, tilawah Al Qur’an, dzikir, shalawat, mempelajari Al Qur’an, mempelajari Tafsir, mempelajari ilmu-ilmu syar’i, menghayati penciptaan langit, bumi, manuisa dan ciptaan-ciptaan Allah lainnya, mempelajari hadits Nabi, kisah para Nabi, kisah para sahabat dan kisah para ulama.
2.     Puasa
3.     Pada bulan Ramadhan
4.     Di masjid Jamik (masjid yang didirikan shalat Jum’at di dalamnya)
5.     I’tikaf hingga malam Aidul Fitri
6.     Meninggalkan apa-apa yang tidak ada manfaatnya berupa perkataan dan perbuatan.
Makruh-makruh i’tikaf:
1.     Menghadiri jual beli
2.     Berdagang
3.     Hanya diam ketika i’tikaf, karena i’tikaf diam adalah i’tikafnya ahlu kitab
Pembatal-pembatal i’tikaf:
1.     Keluar masjid tanpa udzur syar’i
2.     Jimak walau karena lupa
3.     Keluar mani karena proses sadar (bukan mimpi basah)
4.     Murtad
5.     Mabuk di siang hari
6.     Haidh dan nifas
7.     Makan dengan sengaja di siang hari
8.     Melakukan dosa-dosa besar, seperti ghibah, namimah, berdusta dll.
Referensi:
1.     Al Wajiz fii fiqhil islamiy. Wahbah az Zuhaili
2.     Al Jamii’ li ahkamil Qur’an. Imam al Qurthubi
3.     Aisaaru at Tafasiir. Abu Bakar Jabir al Jazaairi
4.     Fiqhu sunnah. Syaikh Sayyid Sabiq
5.     Al Mishbah al Muniir. Shofiyu Rahman al Mubarakfuri
6.     Majmu’ Syarhul Muhadzzab. Imam an Nawawi
7.     Puskafi.com



[1]  Seorang Tabiin yang lahir di zaman Umar bin Khahab. Beliau pernah belajar kepada sahabat-sahabat senior seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib dan lain-lain. Beliau juga termasuk satu dari tujuh ahli fiqih kota Madinah ketika itu.
[2]  Al Jaami’ li ahkamil Qur’an. Imam al Qurthubi: 22/534
[3]  Al Wajiiz fii fiqhil islamiy. Wahbah az Zuhaili: 1/348

Tidak ada komentar:

Posting Komentar