Sabtu, 15 September 2012


 dari an-nuur.org

Salah satu penyakit yang dapat menodai keikhlasan seorang hamba adalah riya’. Yang dimaksud dengan riya’ adalah memperlihatkan suatu amalan dengan tujuan mendapatkan pujian manusia. Riya’ termasuk syirik khafiy (tersembunyi), maknanya adalah kesyirikan yang terdapat di dalam hati manusia yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah ta’ala.
Ulama salaf mendefiniskan riya adalah menginginkan kedudukan dan posisi di hati manusia dengan memperlihatkan berbagai kebaikan kepada mereka. Dari definisi tersebut jelas bahwa dasar perbuatan riya’ adalah untuk mencari keridhoan, penghargaan, pujian, kedukan atau posisi di hati manusia semata dalam suatu amal kebaikan atau ibadah yang dilakukannya.
Sering keberadaan riya ini luput dari pengamatan dan perasaan seseorang dikarenakan begitu halusnya sehingga ada yang mengibaratkan bahwa ia lebih halus daripada seekor semut hitam diatas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita. Padahal keberadaan riya dalam suatu amal amatlah berbahaya dikarenakan ia dapat menghapuskan pahala dari amal tersebut. Karena itu, ia disebut juga dengan syirik yang tersembunyi, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy berkata, Rasulullah saw pernah menemui kami dan kami sedang berbincang tentang Al Masih Dajjal. Maka beliau saw bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
”Maukah kalian aku beritahu tentang apa yang aku takutkan terhadap kalian daripada al masih dajjal?’ kami menjawab,’Tentu wahai Rasulullah.’ Beliau saw berkata,’Syrik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan sholat kemudian membaguskan sholatnya tatkala dilihat oleh orang lain,” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Kekhawatiran Generasi Salaf Terhadap Riya
Penyakit riya’ amatlah berbahaya karena ia menjangkiti seseorang bukan dalam keadaan seseorang bermaksiat, melainkan justru menyerang tatkala dia tengah beramal shalih. Oleh karena itu, generasi terbaik umat ini, dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti jalan mereka sangat mengkhawatirkan amal mereka terjangkiti riya’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ. قالوا يا رسول الله: وما الشرك الأصغر؟ قال:  الرِّيَاءُ يقُوْلُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَ فِيْ الدُّنْيَا ، فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزاَءً”.
“Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik asghar”. Lalu beliau ditanya tentang (maksud) hal tersebut (syirik asghar),  maka beliau menjawab “Riya’”,  Allah akan mengatakan kepada mereka pada hari Kiamat tatkala memberikan balasan atas amal-amal manusia “Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ kepada mereka di dunia. Apakah kalian akan mendapat balasan dari sisi mereka?” (HR Ahmad)
Lihatlah, Rasulullah mengatakan hal ini kepada Abu Bakar, Umar, para sahabat muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum yang telah mencapai ketinggian tauhid, iman, dan jihad fi sabilillah. Namun, bersamaan dengan itu Rasulullah tetap takut riya’ menjangkiti mereka. Maka siapa lagi yang bisa merasa aman setelah mereka?
Tatkala hadits tentang golongan orang yang pertama kali dimasukkan ke neraka karena riya sampai ke sahabat Mu’awiyah bin Sufyan radhiyallahu ‘anhu, beliau jatuh pingsan. Setelah siuman beliau berkata “Telah benar Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh bagian di akhirat, kecuali neraka.” (QS Hud: 15-16)
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata “Tidaklah ada sesuatu yang lebih sulit untuk aku perbaiki melainkan niatku”
Demikian pula para ulama’ ketika menulis kitab, banyak di antara mereka membuka kitabnya dengan hadits Umar bin Khattab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya.Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang ia niatkan…” [HR. Bukhari-Muslim].
Di antara para ulama’ tersebut adalah Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, Imam An Nawawi dalam Arbain An Nawawiyyah dan Riyadhush Shalihin, Imam Ash Shuyuthi dalam Jamiush shaghir, dan selain mereka. Disebutkan bahwa para ulama membuka kitab-kitab mereka dengan hadits ini adalah sebagai peringatan bagi penulis atau para pembacanya untuk mengikhlaskan niat mereka hanya untuk Allah ta’ala dalam seluruh perkara ibadah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Diriwayatkan dari Bakar Bin Maiz bahwa ia berkata, ‘ Ar Rabi’e tidak pernah terlihat sholat sunnah di masjid masyarakat kampungnya, kecuali sekali seumur hidupnya lantaran takut terhadap riya.’
Dari sofyan diriwayatkan bahwa ia berkata: Murayyah Ar Rabi’i Bin Khutsaim pernah mengatakan kepadaku: sesungguhnya amal perbuatan rabbi seluruhnya dilakukan dengan diam diam. Bilamana seseorang datang, sementara beliau tengah membaca alqur’an, beliau segera menutupi mushafnya dengan bajunya.
Dari Abu Hamzah diriwayatkan bahwa ia berkata: dahulu Ali Bin Husain biasa memanggul karung makanan setiap malam untuk disedekahkan.
Dari Ibnu Aisyah diriwayatkan bahwa ia berkata, ayahku pernah berkata, aku pernah mendengar penduduk madinah mengatakan, kami terus menerus mendapatkan sedekah misterius, hingga meningganya Ali Bin Husain.’
Dari Amru Bin Tsabit diriwayatkan bahwa ia berkata, tatakala Ali Bin Husain meninggal dunia dan orang orang memandikannya, tiba tiba mereka melihat bekas menghitam di punggungnya. Mereka lantas bertanya, apa ini? Sebagian mereka menjawab, beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di madinah.”
Abdulah Bin Sinan telah menceritakan, aku pernah bersama Abdulah Bin Mubarak dan Mu’tamar Bin Sulaiman di Tharashus. Orang orang berteriak: musuh musuh.” Ibnu Mubarak segera keluar bersama pasukan kaum muslimin. Tatkala dua kelompok (islam dan kafir) sudah saling berhadapan. Seorang tentara romawi maju dan menantang berduel satu lawan satu. Maka seorang tentara muslim maju lalu tentara kafir membunuhnya. Begitu berlangsung terus hingga ia berhasil membunuh enam tentara muslim. Ia dengan congkak berdiri di antara dua kubu menantang berduel. Namun tak seorangpun yang bersedia melayaninya. tiba tiba Ibnul Mubarak menoleh kepadaku seraya berkata, wahai fulan kalau aku terbunuh kerjakan ini dan itu.’ Beliau lalu mengayuh tunggangannya dan menyerang tentara kafir itu. Terjadilah pertarungan beberapa saat. akhirnya beliau membunuh orang kafir itu dan menantang berduel. Seorang kafir lainnya maju namun beliau berhasil membunuhnya juga begitu terus berlangsung sampai berhasil membunuh enam orang kafir. Beliau terus menantang namun nyali pasukan kafir ciut dan tunggang langgang. Kemudian beliau menghentakkan tunggangannya menembus dua kubu yang berhadapan lalu pergi menghilang. Kami seolah-olah tidak merasakan kejadian apa apa. Setelah itu bertemu lagi dengan beliau di tempat yang ia biasa berada, ia mengatakan: wahai fulan selama aku masih hidup jangan engkau ceritakan kejadian itu kepada siapapun.’
‘Aun Bin Umarah berkata, aku pernah mendengar Hisyam Ad Dastuwai menyatakan, demi allah aku tidak berani menyatakan sama sekali bahwa suatu hari aku pernah pergi mencari hadist karena Allah swt.’
Demikianlah seklumit Kisah generasi salaf tentang kekhawatiran mereka terhadap perbuatan riya.  mereka khawatir upaya menuntut ilmu, beribadah, bersedekah  dan berjihad yang meraka lakukan tidak bernilai disisi Allah swt. Lantas bagaimana dengan menuntut ilmu, beribadah, bersedekah dan berjihad kita? Apakah kita juga dalam melakukan kebaikan khawatir sebagaimana yang mereka khawatirkan? Mari introspeksi diri kita…

Referensi:
Muhamad Ahmad Bin Abdurrahman Bin Al Qudamah Al Maqdisi, Mukhtashar Minhaj Al Ghasidin, (Qahirah: Dar Al Aqidah,1426) Cetakan Pertama.
Ibnu Rajab Al Hanbali, Jamiul Ulum Wal Hikam Fi Syarhi Khomsisna Haditsan Min Jawami’il Kalim (Bairut: Dar Ibn Katsir, 1429) Cetakan Pertama
Abdul Aziz Bin Nashir Bahaudin Bin Faith Uqail, Aina Nahnu Min Akhlak As Salaf (Riyadh: Dar At Tibah Lin Nashr Wa At Tauji’, 1422) Cetekan Kedelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar