Oleh: Ransi Mardi al indragiri
Khusyuk memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam shalat. Di dalam Al Qur’an surat Al Mu’minum
ayat ke-1 dan 2 Allah ta’alaa berfirman,
قد أفلح المؤمنون0الذين هم في صلاتهم خاشعون0
Artinya: “Sungguh
beruntung orang mukmin. Orang (mukmin) yang yang dalam shalatnya penuh dengan
kekhusyukan.”
Para ahli tafsir
menerangkan bahwa mukmin yang dimaksud di dalam ayat ini adalah mukmin yang
mengerjakan shalat, dan mereka dalam shalatnya penuh dengan kekhusyukan.[1]
Bahkan Imam Al Qurthubi dalam menafsirkan ayat ini berpendapat bahwa khusyuk
dalam shalat adalah suatu kewajiban sebagaimana nukilan beliau dari beberapa
pendapat ulama. Walaupun ada perbedaan penadapat di sana, tapi beliau memilih
pendapat yang mengatakan bahwa khusyuk termasuk kewajiban dalam shalat.[2]
Dalam menafsirkan ayat ini pula Imam Suyuti menukil dalam tafsir beliau sebuah
Hadits dari Rasulullah sallaallahu alaihi wasallam yang berbunyi, “Berlindunglah
kalian kepada Allah dari khusyuk nifaq.” Kemudian para sahabat bertanya,
“Apa itu khsyuk nifaq ya Rasulullah?” kemudian Rasulullah sallaallahu alaihi
wasallam menjawab, “Anggota badannya terlihat khusyuk, sementara hatinya
jauh dari kekhusyukan.”[3]
Begitulah Allah ta’alaa dan Rasulullah sallaallahu alaihi wasallam
menegaskan kedudukan khusyuk dalam shalat.
Di kalangan para Sahabat seperti Ibnu Abbas berkata, “Dua
rakaat (Shalat sunnah) dengan penuh kekhusyukan lebih baik daripada shalat
malam (tahajud) semalaman.”[4] Para
sahabat yang lain seperti Ubadah bin Shomit, Auf bin Malik dan Hudzaifah bin
Yaman berkata, “Ilmu yang pertama kali diangkat dari manusia adalah khusyuk
hingga tidak ada lagi orang khusyuk yang terlihat.”[5]
Para Ulama juga
memberikan komentar mereka dalam masalah ini. Maka tidak ada salahnya kita
menyimak beberapa pendapat ulama tentang khusyuk. Sebagaimana yang telah kami
paparkan di muka bahwa Imam Qurthubi menyatakan bahwa khusyuk adalah salah satu
kewajiban dalam shalat. Kemudian Imam Ibnu Qoyim al Jauziyah secara tersirat menyatakan
bahwa rukun di dalam shalat itu ada dua, rukun zhohir dan rukun khofi. Rukun
zhohir adalah setiap gerakan dan ucapan sebagaimana yang telah kita ketahui
bersama, mulai dari niat, takbir hingga salam. Adapun rukun khofi adalah rukun
yang tidak terucap dan tidak pula dengan gerakan, yang dimaksud disini adalah
khusyuk. Maka ketika beliau menerangkan lima tingakatan manusia dalam
mengerjakan shalat, Ibnu Qoyim al Jauziyah menempatkan orang yang tidak khusyuk
dalam shalat ketingkatan yang kedua. Menurut beliau lagi, pada tingkatan kedua
ini ketika seseorang mengerjakan shalat tanpa adanya khusyuk maka shalatnya
tidak akan berbuah pahala dan tidak pula menghapus dosa (kecil), melainkan
hanya sebagai penghilang kewajiban shalat saja.[6]
Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa orang yang meninggalkan shalat telah
melakukan dosa yang sangat besar. Kelima tingkatan itu adalah; pertama
adalah orang yang zholim. Pada tingkatan ini seseorang shalat tidak menjaga
kesempurnaan wudhunya, tidak tepat waktu atau menunda-nunda waktunya serta
tidak menjaga rukun dan syaratnya. Orang yang shalat seperti ini mendapatkan
hukuman dari Allah ta’alaa sebagaimana Firman-Nya dalam surat Maryam
ayat ke-59. Kedua, seseorang yang shalat tepat waktu, menjaga
kesempurnaan wudhunya serta menjaga rukun dan syarat yang zhohir, akan tetapi
ketika shalat pikirannya pergi entah kemana memikirkan perkara lain selain
shalat. Maka orang yang shalat seperti ini tidak akan mendapatkan pahala, dan
shalatnya juga tidak berfungsi sebagai penghapus dosa, hanya saja menghilangkan
kewajiban shalat. Ketiga, seseorang yang shalat dengan menjaga waktu,
wudhu, rukun serta syarat yang telah ditentukan. Ketika shalat berusaha untuk
khsyuk walau kadang pikirannya lalai, tetapi tanpa lelah dengan gigih dia berusaha
untuk tetap khusyuk dalam shalatnya. Maka orang seperti ini shalatnya dapat
menghapuskan dosa, namun tidak mendatangkan pahala. Keempat, orang yang
jika shalat menyempurnakan seluruhnya. Baik waktu, wudhu, syarat dan rukunnya.
Khusysuk kepada apa yang dia baca dan hatinya tiada lalai. Maka shalat orang
seperti ini mendapatkan pahala dan menghapuskan dosa. Kelima, orang yang
jika mendirikan shalat selain menyempurnakan seluruh rangkaian shalat, baiak
perbuatan, ucapan ataupun yang tersirat. Dia seakan-akan meletakan hatinya di hadapan
Rabbnya, dia shalat seakan-akan melihat Rabbnya. Maka shalat orang seperti ini
adalah orang yang memiliki kedudukan yang paling dekat dengan Allah ta’alaa.
Para Ulama mutaakhirin juga berpendapat dalam masalah
ini. Abdurrahman al Jibrin misalnya, dalam kutaib al Khusyuk fis Sholah
beliau mengatakan,
فصلاة بلا خشوع
كبدن ميت لا روح فيه
Artinya: “Shalat yang tidak
khusyuk ibarat badan mati yang tidak ada ruhnya.”[7]
Kemudian Syaikh Abdullah bin Abdurahman bin Sholih Alu Bassam membuat sebuah
bab dalam kitab beliau, “Bab khusyuk dalam Shalat.” Yang di sana beliau
menyatakan,
الخسوع في
الصلاة، هو روحها ولبها ويكثر ثوابها أو يقل، حسبما عقله المصلي منها
Artinya: “Khusyuk
dalam shalat adalah ruhnya, intinya, dengan khusyuk shalat seseorang jadi
banyak atau jadi sedikit pahalanya sesuai dengan tingkat kekhusykannya.”[8]
Begitu jelas dan terang mengenai kedudukan khusyuk dalam
shalat. Maka dari itu, hendaknya kita benar-benar memperhatikannya ketika
shalat. Karena tanpanya shalat kita akan sia-sia ibarat badan mati yang tidak
ada ruhnya lagi.
[1] Tafsirul Misbah. Shofiyurahman al Mubrokfuuri.
Hal. 799
[2] Al Jaami’ li ahkamil qur’an. Imam al Qurthubi.
Hal. 12/239
[3]
Ad daarul mantsur fi tafsiri bil ma’tsur. Imam
Suyuti. Hal. 10/558
[4] Al Khusyuk fis Shoolah. Hal. 9
[5] Al Khusyuk fis Sholah. Hal. 34
[6] Al Waabilus Shoyyib min Kalamit Thoyyib. Ibnu
Qoyim al Jauziyah (691-751H). Hal. 23-24
[7]
Al Khusyuk fis Sholaah. Abdurahman al Jibrin.
Hal. 10
[8]
Taisiirul Alaam fis Syarhil Umdatul Ahkam.
Abdullah bin Abdurahman bin Shalih Alu Bassam. Hal. 155
Jazakallah bang
BalasHapussama-sama boy...
BalasHapus