Rabu, 28 Januari 2015

KEDUDUKAN KHUSYUK DI DALAM SHALAT

Oleh: Ransi Mardi al indragiri

Khusyuk memiliki kedudukan yang sangat penting dalam shalat. Di dalam Al Qur’an surat Al Mu’minum ayat ke-1 dan 2 Allah ta’alaa berfirman,
قد أفلح المؤمنون0الذين هم في صلاتهم خاشعون0
Artinya: “Sungguh beruntung orang mukmin. Orang (mukmin) yang yang dalam shalatnya penuh dengan kekhusyukan.
Para ahli tafsir menerangkan bahwa mukmin yang dimaksud di dalam ayat ini adalah mukmin yang mengerjakan shalat, dan mereka dalam shalatnya penuh dengan kekhusyukan.[1] Bahkan Imam Al Qurthubi dalam menafsirkan ayat ini berpendapat bahwa khusyuk dalam shalat adalah suatu kewajiban sebagaimana nukilan beliau dari beberapa pendapat ulama. Walaupun ada perbedaan penadapat di sana, tapi beliau memilih pendapat yang mengatakan bahwa khusyuk termasuk kewajiban dalam shalat.[2] Dalam menafsirkan ayat ini pula Imam Suyuti menukil dalam tafsir beliau sebuah Hadits dari Rasulullah sallaallahu alaihi wasallam yang berbunyi, “Berlindunglah kalian kepada Allah dari khusyuk nifaq.” Kemudian para sahabat bertanya, “Apa itu khsyuk nifaq ya Rasulullah?” kemudian Rasulullah sallaallahu alaihi wasallam menjawab, “Anggota badannya terlihat khusyuk, sementara hatinya jauh dari kekhusyukan.[3] Begitulah Allah ta’alaa dan Rasulullah sallaallahu alaihi wasallam menegaskan kedudukan khusyuk dalam shalat.
            Di kalangan para Sahabat seperti Ibnu Abbas berkata, “Dua rakaat (Shalat sunnah) dengan penuh kekhusyukan lebih baik daripada shalat malam (tahajud) semalaman.”[4] Para sahabat yang lain seperti Ubadah bin Shomit, Auf bin Malik dan Hudzaifah bin Yaman berkata, “Ilmu yang pertama kali diangkat dari manusia adalah khusyuk hingga tidak ada lagi orang khusyuk yang terlihat.”[5]
Para Ulama juga memberikan komentar mereka dalam masalah ini. Maka tidak ada salahnya kita menyimak beberapa pendapat ulama tentang khusyuk. Sebagaimana yang telah kami paparkan di muka bahwa Imam Qurthubi menyatakan bahwa khusyuk adalah salah satu kewajiban dalam shalat. Kemudian Imam Ibnu Qoyim al Jauziyah secara tersirat menyatakan bahwa rukun di dalam shalat itu ada dua, rukun zhohir dan rukun khofi. Rukun zhohir adalah setiap gerakan dan ucapan sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mulai dari niat, takbir hingga salam. Adapun rukun khofi adalah rukun yang tidak terucap dan tidak pula dengan gerakan, yang dimaksud disini adalah khusyuk. Maka ketika beliau menerangkan lima tingakatan manusia dalam mengerjakan shalat, Ibnu Qoyim al Jauziyah menempatkan orang yang tidak khusyuk dalam shalat ketingkatan yang kedua. Menurut beliau lagi, pada tingkatan kedua ini ketika seseorang mengerjakan shalat tanpa adanya khusyuk maka shalatnya tidak akan berbuah pahala dan tidak pula menghapus dosa (kecil), melainkan hanya sebagai penghilang kewajiban shalat saja.[6] Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa orang yang meninggalkan shalat telah melakukan dosa yang sangat besar. Kelima tingkatan itu adalah; pertama adalah orang yang zholim. Pada tingkatan ini seseorang shalat tidak menjaga kesempurnaan wudhunya, tidak tepat waktu atau menunda-nunda waktunya serta tidak menjaga rukun dan syaratnya. Orang yang shalat seperti ini mendapatkan hukuman dari Allah ta’alaa sebagaimana Firman-Nya dalam surat Maryam ayat ke-59. Kedua, seseorang yang shalat tepat waktu, menjaga kesempurnaan wudhunya serta menjaga rukun dan syarat yang zhohir, akan tetapi ketika shalat pikirannya pergi entah kemana memikirkan perkara lain selain shalat. Maka orang yang shalat seperti ini tidak akan mendapatkan pahala, dan shalatnya juga tidak berfungsi sebagai penghapus dosa, hanya saja menghilangkan kewajiban shalat. Ketiga, seseorang yang shalat dengan menjaga waktu, wudhu, rukun serta syarat yang telah ditentukan. Ketika shalat berusaha untuk khsyuk walau kadang pikirannya lalai, tetapi tanpa lelah dengan gigih dia berusaha untuk tetap khusyuk dalam shalatnya. Maka orang seperti ini shalatnya dapat menghapuskan dosa, namun tidak mendatangkan pahala. Keempat, orang yang jika shalat menyempurnakan seluruhnya. Baik waktu, wudhu, syarat dan rukunnya. Khusysuk kepada apa yang dia baca dan hatinya tiada lalai. Maka shalat orang seperti ini mendapatkan pahala dan menghapuskan dosa. Kelima, orang yang jika mendirikan shalat selain menyempurnakan seluruh rangkaian shalat, baiak perbuatan, ucapan ataupun yang tersirat. Dia seakan-akan meletakan hatinya di hadapan Rabbnya, dia shalat seakan-akan melihat Rabbnya. Maka shalat orang seperti ini adalah orang yang memiliki kedudukan yang paling dekat dengan Allah ta’alaa.
            Para Ulama mutaakhirin juga berpendapat dalam masalah ini. Abdurrahman al Jibrin misalnya, dalam kutaib al Khusyuk fis Sholah beliau mengatakan,
فصلاة بلا خشوع كبدن ميت لا روح فيه
Artinya: Shalat yang tidak khusyuk ibarat badan mati yang tidak ada ruhnya.”[7] Kemudian Syaikh Abdullah bin Abdurahman bin Sholih Alu Bassam membuat sebuah bab dalam kitab beliau, “Bab khusyuk dalam Shalat.” Yang di sana beliau menyatakan,
الخسوع في الصلاة، هو روحها ولبها ويكثر ثوابها أو يقل، حسبما عقله المصلي منها
Artinya: “Khusyuk dalam shalat adalah ruhnya, intinya, dengan khusyuk shalat seseorang jadi banyak atau jadi sedikit pahalanya sesuai dengan tingkat kekhusykannya.”[8]
            Begitu jelas dan terang mengenai kedudukan khusyuk dalam shalat. Maka dari itu, hendaknya kita benar-benar memperhatikannya ketika shalat. Karena tanpanya shalat kita akan sia-sia ibarat badan mati yang tidak ada ruhnya lagi.



[1]  Tafsirul Misbah. Shofiyurahman al Mubrokfuuri. Hal. 799
[2]  Al Jaami’ li ahkamil qur’an. Imam al Qurthubi. Hal. 12/239
[3]  Ad daarul mantsur fi tafsiri bil ma’tsur. Imam Suyuti. Hal. 10/558
[4] Al Khusyuk fis Shoolah. Hal. 9
[5]  Al Khusyuk fis Sholah. Hal. 34
[6]  Al Waabilus Shoyyib min Kalamit Thoyyib. Ibnu Qoyim al Jauziyah (691-751H). Hal. 23-24
[7]  Al Khusyuk fis Sholaah. Abdurahman al Jibrin. Hal. 10
[8]  Taisiirul Alaam fis Syarhil Umdatul Ahkam. Abdullah bin Abdurahman bin Shalih Alu Bassam. Hal. 155

2 komentar: